REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Musibah tumpahan/pencemaran minyak di laut adalah musibah yang harus mendapatkan perhatian khusus pemerintah. Pasalanya, musibah ini seringkali terjadi, khususnya di laut Indonesia, dalam beberapa dekade terakhir.
Setiap terjadinya musibah, tumpahan minyak kemudian akan berdampak pada kerusakan lingkungan serta kerugian ekonomi yang sangat besar. Bahkan, tidak jarang juga mengambil korban jiwa manusia.
Demikian disampaikan oleh Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai, Junaidi pada acara Workshop Pembahasan Ratifikasi Konvensi OPRC 1990 dan HNS Protocol 2000 yang diselenggarakan di Hotel Aston, Bogor, Senin-Selasa(10-11/12).
Jajaran Ditjen Hubla gelar Workshop pembahasan ratifikasi konvensi OPRC 1990 dan HNS Protocol 2000, Senin-Selasa (10-11/12). (Foto: Ditjen Hubla)
Workshop ini diikuti oleh peserta dari Kementerian Sekretariat Kabinet serta sejumlah instansi terkait lainnya. International Convention on Oil Pollution Preparedness, Response and Co-Operation 1990 atau yang biasa dikenal sebagai Konvensi OPRC adalah konvensi yang lahir dari suatu konferensi di Paris pada Juli Tahun 1989. Konvensi ini yang kemudian diadopsi pada Sidang Assembly International Maritime Organization (IMO) pada tanggal 30 November 1989 dan diberlakukan pada 13 Mei 1995.
Substansi pokok dari Konvensi OPRC mengamanatkan kepada negara peserta untuk mempersiapkan tindakan-tindakan yang diperlukan sebagai upaya kesiapsiagaan dalam hal terjadi musibah pencemaran, khususnya oleh minyak di laut. Selain itu, guna mendukung kelancaran dan keberhasilan upaya penanggulangan pencemaran minyak di laut, Konvensi OPRC juga mengamanatkan agar negara peserta Konvenai menjalin kerja sama dalam penanggulangan pencemaran, baik dalam lingkup nasional, regional dan internasional dengan negara lain.
“Pada kesempatan ini, kami sudah mengundang narasumber yang kompeten di bidangnya antara lain dari Kementerian Sekretariat Kabinet, Kementerian Luar Negeri, dan juga akademisi dari Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan (PKSPL)-IPB,” ungkap Junaidi dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id. Senin (10/12).
Junaidi menjelaskan, bahwa dalam konteks penanggulangan tumpahan minyak di laut, Indonesia telah mempunyai mekanisme koordinasi secara nasional di bawah Pusat Komando dan Pengendali Nasional Operasi Penanggulangan Keadaan Darurat Akibat Tumpahan Minyak di Laut sejak 2006 melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut.
Dalam Perpres tersebut disebut tentang keberadaan Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut yang beranggotakan 13 Instansi Kementerian/Lembaga Pemerintah.
“Tim Nasional tersebut diketuai oleh Menteri Perhubungan, dengan anggota berasal dari perwakilan KLHK, ESDM, Kemendagri, Kemenlu, KKP, Kemenkes, Kemenkeu, Kemenkumham, TNI, Polri, SKK Migas, BPH Migas, Gubernur dan Bupati/Walikota yang wilayahnya mencakup laut,” jelas Junaidi.
Sedangkan salah satu dari tugas dari Tim Nasional tersebut antara lain adalah untuk melaksanakan koordinasi penyelenggaraan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut Tingkatan Tier 3/Nasional. Selain itu, tim tersebut juga bertugas memberikan dukungan advokasi kepada setiap orang yang mengalami kerugian akibat tumpahan minyak di laut.
Dikatakan Junaidi, Tim Nasional ini fungsinya adalah untuk menetapkan pedoman pengembangan sistem kesiapsiagaan dan penyelenggaraan penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut, yang meliputi Protap Tier 3, penyediaan sarpras dan personil terlatih penanggulangan, penetapan persyaratan minimal kesiagaan sarpras dan personil penanggulangan di pelabuhan, terminal serta platform lepas pantai untuk penanggulangan tumpahan maupun untuk penanggulangan dampak lingkungan.
Lebih lanjut, Junaidi menambahkan, selaku Ketua Tim Nasional, Kementerian Perhubungan memandang perlu bagi Indonesia untuk segera meratifikasi Konvensi OPRC 1990 dan HNS Protocol 2000. “Untuk itulah kami melakukan inisiasi dengan menyelenggarakan workshop pada hari ini, sebagai langkah awal proses pembahasan ratifikasi selanjutnya,” tukas Junaidi.
Kasubdit Penanggulangan Musibah dan Pekerjaan Bawah Air, Een Nuraini Saidah mengatakan, Ditjen Hubla telah membentuk sebuah tim kecil untuk melakukan proses penerjemahan maupun penyusunan draft naskah akademik serta draft Perpres guna persiapan ratifikasi.
“Tim Kecil Ditjen Perhubungan Laut ini bekerja dengan dukungan PKSPL-IPB, tidak hanya translasi dan naskah akademik Konvensi OPRC namun juga OPRC-HNS Protocol 2000,” ujar Een.
Een beranggapan, akan lebih baik jika dalam proses pembahasan ratifikasi nantinya dapat sekalian diterbitkan ratifikasi terkait dengan OPRC Convention 1990 dan juga OPRC-HNS Protocol 2000. Hal tersebut, tentunya perlu dibahas lebih lanjut dalam workshop dan, harus disesuaikan dengan tata cara dan mekanisme legislasi yang berlaku di Indonesia serta internasional.