Kamis 06 Dec 2018 15:47 WIB

Mengapa Arus Pengungsi Rohingya Kembali Mengalir?

Pengungsi yang terus mengalir menimbulkan pertanyaan situasi keamanan di Rakhine.

Sejumlah warga etnis Rohingya berada di Pelabuhan Kuala Idi Rayeuk, Aceh Timur, Aceh, Selasa (4/12/2018).
Foto: Antara/Syifa Yulinnas
Sejumlah warga etnis Rohingya berada di Pelabuhan Kuala Idi Rayeuk, Aceh Timur, Aceh, Selasa (4/12/2018).

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Kamran Dikarma

NAY PYI DAW -- Kesepakatan repatriasi yang telah dicapai Myanmar dan Bangladesh tak menghentikan arus pengungsi Rohingya. Selama sebulan terakhir, sedikitnya enam perahu yang membawa ratusan orang Rohingya dicegat di laut.

Gelombang baru pengungsi Rohingya itu terjadi seiring dengan mulai berakhirnya musim hujan. Mereka diyakini melakukan pelayaran menggunakan perahu dari Laut Andaman guna mencari perlindungan ke Malaysia dan Thailand.

Pekan lalu, Angkatan Laut Myanmar menangkap 38 rohingya, 19 pria, 11 wanita, dan 8 anak-anak di Laut Andaman. Mereka dilaporkan berusaha melakukan perjalanan ke Malaysia. Mereka yang berada di kapal sempat ditahan otoritas Myanmar. Setelah itu, mereka dipulangkan ke Negara Bagian Rakhine, Myanmar.

Bulan lalu, otoritas Myanmar juga berhasil menangkap 93 orang Rohingya yang mencoba melarikan diri dari Sittwe dan pengungsian Darpaing di Rakhine. Dari beberapa ka pal yang dicegat, satu di antaranya hendak menuju Malaysia.

Pada Selasa (4/12), 20 orang yang diyakini pengungsi Rohingya mendarat di Kota Kuala Idi, Aceh. Masyarakat setempat memberi mereka makanan dan air karena kondisi mereka cukup mengkhawatirkan.

Kepala komunitas nelayan setempat, Razali, mengungkapkan, 20 orang Rohingya itu sebenarnya berencana menuju Malaysia. Namun, entah bagaimana mereka justru mendarat di Indonesia. "Perahu mereka masih berfungsi dan mereka memiliki bahan bakar, jadi kami tidak tahu mengapa mereka memasuki daerah kami," kata Razali.

Mereka yang berada di kapal rata-rata pria berusia sekitar 20 tahun. Masih belum diketahui apakah mereka melakukan pelayaran dari Myanmar atau Bangladesh. "Kami tidak dapat berkomunikasi dengan mereka karena mereka tidak bisa berbahasa Indonesia atau Inggris, jadi kami tidak tahu banyak tentang mereka," ujar Iswandi, kepala Distrik Idi Rayeuk, dikutip laman the Guardian.

Pada 2015, ribuan pengungsi Rohingya pernah mendarat di Indonesia dan Malaysia setelah sebelumnya terombang-ambing di Laut Andaman. "Ada perbedaan antara pola gerakan-gerakan ini dibandingkan pada 2015," kata juru bicara Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR) Caroline Gluck.

Ia menilai ada indikasi pelayaran yang dilakukan oleh orang-orang Rohingya baru-baru ini hendak menuju tujuan berbeda. Sebab, mereka sebelumnya lebih memilih menyeberang ke Bangladesh.

"Perahu-perahu itu lebih kecil dan menampung lebih sedikit penumpang. Titik tujuan telah berubah dan upaya yang lebih kuat sedang dilakukan pihak berwenang Bangladesh serta Myanmar untuk mencegah kapal-kapal mulai berlayar ke laut," ujar Gluck.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement