Senin 03 Dec 2018 21:50 WIB

KPU Segera Tentukan Nasib OSO di Pemilu 2019

Mengabaikan putusan MK itu merupakan keputusan yang terberat.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Muhammad Hafil
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD (kanan) berjabat tangan dengan Anggota KPU Hasyim Asyari (tengah) disaksikan oleh Ketua KPU Arief Budiman (kiri) saat tiba di Gedung KPU, Jakarta, Senin (3/12/2018).
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD (kanan) berjabat tangan dengan Anggota KPU Hasyim Asyari (tengah) disaksikan oleh Ketua KPU Arief Budiman (kiri) saat tiba di Gedung KPU, Jakarta, Senin (3/12/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan segera menggelar rapat pleno untuk menentukan status Oesman Sapta Odang (OSO) dalam Pemilu 2019. Keputusan tentang OSO akan segera disampaikan dalam waktu dekat.

Ketua KPU, Arief Budiman, mengatakan rapat pleno digelar pada Senin (3/12) malam. Namun, menurutnya, tidak hanya soal pencalonan OSO sebagai anggota DPD saja yang dibahas.

"Benar kami kan menggelar pleno. Kalau soal Pak OSO, nanti jika cukup waktu kami akan bahas malam ini, Tetapi, kalau tidak, ya kami akan lanjutkan besok (Selasa, 3 Desember)," ujar Arief di Kantor KPU usai menerima audiensi dari sejumlah ahli hukum tata negara pada Senin malam.

Meurut Arief, dalam pleno sudah diagendakan untuk membahas persiapan penetapan DPT Pemilu 2019 hasil perbaikan dan rekruitmen anggota KPU. "Semoga besok (sudah ada putusan soal OSO). Sebab kami sudah kuorum. Komisioner KPU sudah di sini semua," ungkapmya.

Sementara itu, saat disinggung tentang masukan dari Mahfud MD dan sejumlah ahli hukum tata negara lain, Rief hanya menyebut bahwa konstitusi harus menjadi catatan KPU. "Kurang lebih sama dengan yang sudah disampaikan oleh mereka dalam pernyataan sebelumnya. hanya saja tadi ada penjelasan oleh Pak Bagir Manan (Mantan Ketua Mahkamah Agung). Menurut saran mereka, konstitusi harus menjadi catatan perhatian KPU," tambah Arief.

Terpisah, pakar hukum tata negara, Bvitri Susanti, yang juga hadir memberikan masukan saat audiensi, mengatakan pihaknya mendorong tiga hal kepada KPU. Tiga hal ini diharapkan dapat menjadi rujukan oleh KPU dalam mengambil sikap soal putusan MK, MA dan PTUN terkait pencalonan anggota DPD yang digugat oleh OSO.

Pertama, faktor sejarah pembentukan DPD yang bukan untuk partai politik (parpol). Kedua, faktor konstitusi, di mana putusan MK yang memaknai konstitusi.

"Mengabaikan putusan MK itu merupakan keputusan yang terberat. Kemudian ketiga, faktor dari KPU sendiri, apakah KPU mau menegakkan kebenaran atau tidak ?," tegasnya.

Sebagaimana diketahui, MA menyatakan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD tidak bisa diberlakukan. Alasannya, syarat pencalonan yang tertuang dalam pasal 60 A PKPU tersebut bertentangan dengan pasal 5 huruf dan dan pasal 6 ayat (1) huruf I UU Pembentukan Peraturan Perundangan Nomor 12 Tahun 2011.

Putusan atas gugatan yang diajukan oleh OSO  ini juga menyebut bahwa pasal 60 A memilikin kekuatan hukum yang mengikat. Namun, MA menegaskan pasal ini berlaku umum sepanjang tidak diberlakukan surut kepada peserta pemilu calon anggota DPD yang sudah mengikuti rangkaian Pemilu 2019.

Setelahnya, pada 14 November 2018 PTUN memutuskan mengabulkan gugatan OSO terkait pencalonan anggota DPD. PTUN juga menyatakan Keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 tertanggal 20 September 2018 dibatalkan.

Selain itu, PTUN meminta KPU mencabut mencabut surat keputusan  Nomor 1130/PL.01.4-Kpt/06/KPU/IX/2018 tanggal 20 September 2018 Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019. Selanjutnya, PTUN meminta KPU menerbitkan keputusan Tentang Penetapan Daftar Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019 yang baru yang mencantumkan nama OSO sebagai Calon Tetap Perseorangan Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Daerah Tahun 2019.

Kedua putusan itulah yang sampai saat ini menjadi polemik dan belum ada tindaklanjut dari KPU. Sebab, di sisi lain ada putusan MK yang berbeda dengan putusan MA. Putusan MK juga tidak sejalan dengan putusan PTUN.

Adapun putusan MK menyatakan mengabulkan permohonan uji materi atas pasal 128 huruf I UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. 

Menurut MK, pasal 182 huruf I tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan inkonstitusional. Pasal itu menyebutkan bahwa calon anggota DPD tidak boleh memiliki 'pekerjaan lain'.

Pekerjaan lain yang dimaksud yakni tidak melakukan praktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara, serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang atau hak sebagai anggota DPD. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement