REPUBLIKA.CO.ID, BONN -- Langkah koreksi besar-besaran yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam tata kelola gambut kini menjadi rujukan pengetahuan bagi dunia internasional. Hal ini semakin ditegaskan dalam pertemuan Konferensi Global Landscape yang berlangsung Sabtu-Ahad (1-2/12) di Bonn, Jerman.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (LHK) Siti Nurbaya Bakar hadir sebagai pembicara kunci pada berbagai forum yang digelar di hari pertama. Pada konferensi internasional tersebut juga hadir perwakilan PBB, UN Environment, Menteri LH se-dunia, World Bank, LSM, peneliti, akademisi, dan para mitra global lainnya.
Indonesia mendapat apresiasi setelah memiliki Pusat Penelitian Lahan Gambut Internasional atau International Tropical Peatlands Centre (ITPC).
“Ini adalah rumah untuk konsultasi dan advokasi bagi kepentingan masyarakat dan lingkungan lokal, serta untuk kepentingan global,” kata Menteri Siti Nurbaya dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id di Jakarta, Ahad(2/12).
Menurut Siti Nurbaya, basis ITPC saat ini berada di dua kampus penelitian hutan di Bogor, yaitu Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi KLHK, serta di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR).
Di agenda berikutnya saat menjadi pembicara kunci peringatan CIFOR ke-25, di hadapan para pemimpin dan ahli kehutanan internasional, Indonesia menegaskan posisinya sebagai 'taman bermain penelitian' bagi pengetahuan kehutanan dunia.
“Saya harap ulang tahun CIFOR ke-25 ini menjadi langkah monumental untuk memperkuat kolaborasi antara Indonesia, CIFOR, dan semua mitra negara, untuk berkontribusi secara signifikan terhadap kehutanan internasional,” kata Siti Nurbaya.
Dia pun kembali mengingatkan, pascaperistiwa kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) pada 2015, Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla telah memberi perhatian lebih pada pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. “Ini untuk mencegah kebakaran gambut seperti yang terjadi pada 2015 ketika sekitar 800 ribu hektare dari 2,6 juta hektar area yang terbakar adalah lahan gambut,” ungkapnya.
Komitmen Pemerintah Indonesia ini semakin dipertegas Menteri KLHK saat menjadi pembicara kunci pada Pembukaan Forum Global Landscape 2018. Ia mengatakan, telah terjadi pergeseran besar tata kelola kehutanan Indonesia menuju perspektif baru keberlanjutan.
“Kami telah pindah dari manajemen berorientasi kayu ke pengelolaan lanskap hutan. Kami juga telah mengambil langkah-langkah korektif untuk mencapai pengelolaan hutan lestari,” tegasnya.
Belajar dari Karhutla
Menurut Siti Nurbaya, Indonesia telah belajar banyak dari Karhutla yang rutin terjadi hampir selama dua dekade. Pemerintahan Presiden Jokowi tidak mau mengulangi kesalahan yang sama karena sangat merugikan lingkungan, kesehatan, ekonomi, dan juga kehidupan sosial masyarakat.
“Kami telah mengembangkan banyak instrumen pengelolaan lahan gambut,” kata Siti Nurbaya.
Di antaranya, melalui kebijakan moratorium izin di lahan gambut dan hutan primer, menerbitkan PP 57/2016 tentang Perlindungan dan pengelolaan lahan gambut, hingga menegakkan hukum lingkungan secara konsisten.
Indonesia juga telah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk memperbaiki konstruksi restorasi gambut dan operasi dan pemeliharaan infrastruktur dan pemanfaatan gambut. Saat ini, sekitar 177 pemegang konsesi telah mengembangkan rencana dan melaksanakan restorasi gambut sampai 2026.
Pemerintah Indonesia telah menempatkan restorasi lahan gambut sebagai strategi utama mengurangi emisi di sektor kehutanan. Ia juga menegaskan komitmen kuat Pemerintah Indonesia untuk keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat melalui percepatan program perhutanan sosial atau program konsesi hutan desa.
“Sebelum 2015, masyarakat hanya dapat mengelola 4-7 persen dari kawasan hutan, tetapi setelah 2015 meningkat secara signifikan menjadi 27-33 persen,” kata Siti Nurbaya.