Ahad 02 Dec 2018 03:00 WIB

Ada yang Istimewa di Hari Disabilitas Internasional

Fiqih yang telah ada selama ini sudah ramah terhadap disabilitas.

 Andi Nur Aminah
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Andi Nur Aminah

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andi Nur Aminah*

Hampir setiap tahun, Hari Disabiltas Internasional (HDI) digelar. Moment yang jatuh pada 3 Desember itu, menjadi pengingat dan dimanfaatkan oleh mereka yang berkebutuhan khusus menunjukkan diri, unjuk kebolehan, menampilkan eksistensi bahwa mereka bisa seperti manusia normal yang lainnya.

Kita yang secara fisik normal, belum tentu bisa melakukan hal-hal yang justru oleh penyandang disabilitas menjadi suatu hal yang mustahil. Kerap kita menemukan, ada orang yang tak bisa melihat, namun memiliki suara yang sangat merdu dan nyaring. Ada yang tak punya kaki, namun siapa sangka dia bisa melesat dengan lincahnya di kolam renang. Ada yang tak punya tangan, namun kemampuan motorik lainnya bisa dia manfaatkan untuk menciptakan lukisan yang sangat indah.

Saya jadi teringat kawan saya, seorang yang hanya memiliki satu buah kaki sejak lahir, tahun lalu mengabarkan dia akan ikut ekspedisi pendakian di Gunung Latimojong. Ekspedisi itu dilakukannya juga dalam rangka HDI.

Gunung tertinggi di Sulawesi Selatan itu memiliki ketinggian 3.478 meter di atas permukaan laut. Saat mendengar ceritanya, saya sedikit ragu. Apa iya dia sanggup, dia bisa, dia mampu?

Kalau ingat saya pernah meragukannya, terus terang saya malu. Karena nyatanya, dia yang ikut Pendakian Bersama Difabel Menembus Batas itu, memang berhasil mencapai puncak Rante Mario, puncak tertinggi dari jejeran pegunungan di Latimojong.

Saya pantas minder, karena sampai saat ini, saya belum dan mungkin tak mampu mendaki Latimojong seperti dia. Sungguh, Sang Maha Pencipta berlaku adil pada mahluknya. Di balik kekurangan yang melekat, Dia menganugerahkan kelebihan sebagai pelengkap.

Tahun ini, peringatan HDI kembali digelar. Secara nasional, HDI puncaknya akan dilaksanakan di Bekasi, Senin (3/12). HDI tahun ini mengangkat tema 'Indonesia Inklusi dan Ramah Disabilitas'. Kementerian Sosial sebagai lembaga negara yang mengurusi kelompok disabilitas ini telah merancang berbagai kegiatan.

Serangkaian acara pun bakal digelar. Mulai dari kegiatan seremonial, kampanye sosial terkait disabilitas hingga pameran produk dari para penyandang disabilitas ini.

Namun, ada satu yang istimewa dan menyita perhatian saya. Beberapa hari lalu, sebuah buku unik diluncurkan berjudul Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas. Buku ini hasil kerja bareng Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama, Perhimpunan Pengembangan Pesantren Masyarakat dan Pusat Studi dan Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya.

Salah satu penyumbang tulisan dalam buku itu, Cak Fu, memastikan diterbitkannya buku ini tak bermaksud menuduh kitab fiqih yang telah ada selama ini tidak ramah disabilitas.  Fiqih atau teks-teks klasik Islam yang telah ada selama ini disebutnya sudah ramah terhadap disabilitas. Dia mengatakan, buku ini merupakan penggalian ulang tehadap khazanah keilmuan fiqih yang sudah ada, kemudian dikompilasi dari kisah-kisah penyandang disabilitas dan dirangkum ulang.

“Buku ini muncul dari kegelisahan dari kawan-kawan disabilitas, termasuk saya misalnya yang kesulitan masuk ke masjid untuk menunaikan shalat, karena tempat wudhu di masjid ada yang harus melewati kubangan air berbentuk kolam sebelum bisa mencapai keran," ujarnya saat peluncuran buku tersebut.

Cerita lainnya yang mengandung kegalauan dilontarkan Gufroni Sakaril. Dia menceritakan, kawan-kawannya banyak yang memiliki fisik tak sempurna. Sebut saja tangan, misalnya. Sementara, aturan-aturan atau tuntunan dalam menjalankan ibadah yang berlaku umum selama ini, tak menyebutkan adanya pengecualian bagi mereka yang fisiknya tak sempurna.

Sederhananya, jika urutan-urutan saat berwudhu menyebut salah satunya adalah membasuh tangan, lantas bagaimana dengan mereka yang hanya memiliki satu tangan, atau bahkan tak punya tangan sama sekali? Ada lagi cerita, penyandang disabilitas tunarungu jika melaksanakan shalat Jumat berjamaah namun tak bisa mendengar isi khotbah. Atau bagaimana hukumnya Islam memandang seorang tunanetra menjadi imam shalat?

"Terus terang kami gelisah, apakah ibadah yang kami lakukan diterima. Karena ibadah kami tidak masuk syarat dalam teks-teks agama yang beredar di masyarakat," ujar Gufron yang juga Ketua Umum Penyandang Disabilitas Indonesia.

Karena itu, Gufron sangat senang dan berterima kasih atas kehadiran buku fiqih tersebut. Menurutnya, kalangan disabilitas selama ini menunggu kehadiran buku keislaman dengan tema tersebut. Ia meyakini buku ini akan sangat bermanfaat karena belum ada buku agama yang spesifik membahas masalah disabilitas. Buku tersebut diyakininya sangat bisa menjadi panduan beribadah kalangan disabilitas terkait sah atau tidaknya ibadah-ibadah yang mereka jalankan.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement