Jumat 30 Nov 2018 22:37 WIB

Pengamat: Harus Ada Solusi Ekstrim untuk Berantasan Korupsi

Pengamat menilai hukuman seumur hidup bisa diterapkan kepada pelaku korupsi.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Bayu Hermawan
Praktisi Hukum, Abdul Fickar Hadjar
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Praktisi Hukum, Abdul Fickar Hadjar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai situasi koruptif sebetulnya memang nyata ada di dunia peradilan. Kalau pun ada bagian-bagian yang terlihat bersih, itu terbatas pada pelayanan publik yang terbuka yang dapat diakses oleh semua orang.

"Tetapi ketika menyentuh bagian-bagian yang secara absolut merupakan kekuasaan kehakiman seperti menangkap, menahan, menuntut dan memutuskan termasuk perkara perdata. Di sinilah gerbang korupsi itu terjadi dan para pihak menjadi tidak berdaya terkooptasi pada situasi yang sudah sistemik ini," ujarnya kepada Republika.co.id, Jumat (30/11).

Menurut Fickar, korupsi oleh hakim dalam konteks kekuasaan kehakiman adalah hal yang menjadi biasa dan dimaklumi oleh para pemangku kepentingannya. Secara teoritis, anggapan bahwa kekuasaan cenderung korupsi, itu mendapat pembenarannya dengan banyaknya operasi tangkap tangan (OTT) di peradilan.

"Karena itu, secara logis ketika seseorang memasuki gerbang kekuasaan kehakiman termasuk di dalamnya pada kekuasaan penyelidikan, penyidikan (oleh kepolisian atau penyidik lain), penuntutan (kejaksaan) dan puncaknya di peradilan, sesungguhnya memasuki gerbang belantara korupsi," ungkapnya.

Fickar melanjutkan, para pejabat kehakiman bukan tidak menyadari atas potensi pelanggaran hukum yang dilakukannya, tapi sangat mungkin tidak berdaya. Sebab, pejabat tersebut adalah bagian dari permainan yang sudah sistemik ini. Meski begitu ia percaya masih ada para pejabat kehakiman yang bersih.

"Tetapi berapa jumlahnya? Inilah situasinya di mana darurat korupsi itu memang terjadi. Karena itu, harus ada solusi pemberantasan korupsi yang ekstrim, salah satunya mungkin hukuman seumur hidup bagi koruptor yang berasal dari kekuasaan kehakiman," tegasnya.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita sekitar 45 ribu dolar Singapura dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan terhadap hakim dan panitera Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Ada enam orang yang terkena tangkap tangan KPK itu. Dari enam ini, dua adalah hakim dan seorang panitera.

"Ada sejumlah uang dalam bentuk dolar Singapura yang juga turut dibawa sebagai barang bukti dalam perkara ini. Uang yang diamankan sekitar 45 ribu dolar Singapura," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu kemarin.

Dengan adanya kasus tersebut, kini jumlah aparat pengadilan yang terjerat kasus korupsi menjadi 28 orang sejak Hatta Ali dilantik menjadi Ketua Mahkamah Agung pada Maret 2012.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement