Jumat 30 Nov 2018 13:35 WIB

Fenomena Hijrah Pemuda: Membalik Stigma Muslim Milenial

Kebangkitan generasi milenial Muslim tidak perlu dikhawatirkan.

Pengunjung Hijrah fest berdoa bersama saat ustaz memimpin doa usai mengisi dakwah dalam acara Hijrah Fest 2018 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Ahad (11/11).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Pengunjung Hijrah Fest memadati loket tiket di pintu utama Jakarta Covention Center, Jakarta, Jumat (9/11).

Milenial Muslim Indonesia

Bagaimana di Indonesia? Sejauh ini, belum ada survei komprehensif mengenai tren kaum milenial Muslim di Indonesia. Namun, dalam riset yang dilakukan Muhammad Faisal dari Youth Labs dalam buku Generasi Phi, Memahami Milenial Pengubah Indonesia (2017) ke berbagai kelompok anak muda di berbagai daerah, memang terlihat menguatnya tren keagamaan tersebut.

Lewat wawancara mendalam yang dilakukan Faisal ke sejumlah nara sumber anak muda dalam berbagai kelompok, jawaban soal keagamaan dan ingin membahagiakan orang tua amat menonjol. Menurut Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Muhammad Najib Azca, ada pola-pola anak muda yang bisa dibaca melalui gelombang hijrah belakangan.

Ia menuturkan, berhijrah merupakan fenomena sosial yang menandai adanya fase krisis dalam diri manusia, khususnya anak muda. Dalam fase krisis tersebut, seseorang memerlukan jawaban yang kemudian bertransformasi melakukan perubahan, dalam hal ini adalah indikator keagamaannya.

Selain itu, belakangan juga muncul model gerakan keagamaan baru yang mengambil utuh gaya hidup ala Timur Tengah. Dengan begitu, terdapat beberapa ekspresi atau artikulasi keagamaan yang akhirnya kontradiktif dengan adat yang ada. "Anak muda merupakan kelompok yang lebih mudah menerima hal baru dibanding orang tua. Karena, memang ada faktor tertentu berakomodatif terhadap perubahan," ujarnya menegaskan.

Najib mengapresiasi bagaimana hijrah menjadi fenomena di Indonesia. Kendati demikian, kelestarian dan daya tahan gerakan itu juga masih perlu dicermati. Ia mengingatkan, tren gaya hidup bisa bergeser kapan saja ketika tren gaya hidup baru lainnya munucul. "Saya rasa harus kita lihat nanti dan belum bisa menentukan secara konklusif saat ini dan masih sesuatu yang harus diamati jauh," papar Najib.

Bagaimanapun, ia mengatakan, bisa saja hijrah digunakan sebagai cara hidup baru. Meski begitu, alangkah baiknya jika itu tidak hanya berdimensi personal dan ritual, tapi lebih berdimensi sosial, misalnya, jadi lebih peduli pada orang lain, lebih banyak memberikan bantuan pada orang lain. "Jadi, orang tidak hanya berpikir keselamatan individualnya, tapi juga keselamatan atau kesejahteraan dan keadilan sosial," kata Najib.

Sementara, Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Prof HM Baharun mengiyakan, belakangan generasi milenial menunjukkan gejala yang tidak biasa. Banyak di antara mereka yang masih berusia remaja sudah memilih untuk hijrah. Hal tersebut tampak dari banyaknya remaja yang mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan.

Ia berpandangan, ada beberapa faktor yang mendorong mereka untuk hijrah. "Pertama, terasa ada semacam kekosongan jiwa bagi sebagian remaja kita yang kemudian melahirkan kejenuhan dan ketidaktenangan meskipun kehidupan telah menjanjikan kesenangan," ujar Prof Baharun kepada Republika, beberapa waktu lalu.

photo
Pengunjung Hijrah Fest memadati panggung utama hall A Jakarta Covention Center, Jakarta, Jumat (9/11).

Selanjutnya, remaja masa kini yang hidup di era digital sudah dapat berpikir kritis. Mereka juga dapat mengakses pesan-pesan keagamaan dengan baik melalui sistem informasi yang ada secara bebas. "Apalagi, kini sudah banyak dai remaja milenial yang juga bisa diakses di TV dan online setiap saat, maka lewat inilah kesadaran untuk berhijrah remaja milenial tumbuh berkembang," ujarnya.

Menurut Prof Baharun, kebangkitan generasi milenial Muslim tidak perlu dikhawatirkan. Justru, potensi ini sangat positif untuk dimanfaatkan guna menguatkan NKRI. Dia menyarankan, remaja-remaja yang hijrah tersebut sebaiknya diarahkan untuk ikut mencerdaskan bangsa dan menguatkan arus ekonomi umat.

Sebab, masalah keumatan saat ini hakikatnya hanya dua, yakni kebodohan dan kemiskinan. "Remaja-remaja yang hijrah jangan diarahkan untuk bermain di ranah politik praktis, nanti bisa tawuran lagi seperti sebelum berhijrah. Soal pilihan politik serahkan saja pada pilihan individual masing-masing sesuai hati nuraninya," ujarnya.

Hal yang jelas, fenomena hijrah generasi milenial Muslim di Indonesia telah membuktikan bahwa kaum milenial bukan golongan yang monolitik dan bisa disimpulkan secara satu dimensional. Bahkan, dalam gerakan itu sendiri, dari penelusuran Republika, ada ciri khas di masing-masing daerah.

Di Bandung, misalnya, gerakannya lebih trendi melalui komunitas hobi. Sementara di Jakarta, ada egalitarianisme yang coba diangkat, di Yogyakarta lebih membumi dengan masyarakat, serta di Jawa Timur tradisionalisme masih mengakar. Seiring waktu, kelanggengan gerakan tersebut tentu masih perlu diuji. Namun, untuk sementara waktu, ia bukan lagi fenomena yang bisa diabaikan. n fuji eka permana

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement