Kamis 29 Nov 2018 15:59 WIB

Hijrah Pemuda: Ikhtiar Keliling Masjid Milenial Bersarung

Berkeliling mushala dan langgar dengan gaya sederhana sehingga diterima para pemuda

Ribuan santri dari seluruh Jawa Barat mengikuti kirab dalam rangka Hari Santri Nusantara Tingkat Provinsi Jawa Barat, di Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Ahad (21/10).
Foto:
Lima ribu santri se-DIY peringati Hari Santri Nasional di Lapangan Panahan, Yogyakarta, Senin (22/10). Tema yang diangkat pada peringatan kali ini yaitu Bersama Santri Damailah Negeri.

Fenomena global

Melihat fenomena tersebut, Koordinator Forum Pemuda Nahdliyin Jatim, Zulham Akhmad Mubarrok, berpendapat, semua ini sebenarnya akibat dari fenomena global. Secara internasional, tren minat pada Islam semakin banyak karena dipandang mampu memberikan solusi terhadap fenomena terkini.

Semua yang bernarasi Islam seakan menarik dan menyegarkan sehingga dampaknya pun terasa pada tingkat nasional. "Di Jatim, tren tersebut bukan sesuatu yang baru karena Jatim dikenal sebagai pusat pergerakan NU," kata Zulham.

Dibandingkan kegiatan atau festival keagamaan, bentuk penguatan keislaman di Jatim justru lebih pada pesantren. Tanpa fenomena ketertarikan internasional, tren minat pesantren setiap tahunnya justru mengalami kenaikan. Dari segi generasi milenial, angka pertumbuhan santrinya stabil, tetapi cenderung naik.

Zulham mengungkapkan, estimasi santri di Jatim saat ini mencapai tiga sampai empat juta orang. Jutaan santri ini tersebar di 38 kota/kabupaten Jawa Timur (Jatim) yang 70 persen pesantren di antaranya lebih memegang konsep salafiyah.

Sementara untuk lokasi sebagian besar santri, dia mengungkapkan, lebih banyak berkumpul di Situbondo dan Bondowoso. "Dan, rata-rata terkonfirmasi mereka generasi milenial," ujarnya menerangkan.

Namun, masalahnya, dia menegaskan, definisi milenial di pesantren berbeda dengan makna pada umumnya. Milenial di sini lebih kepada santri yang sering melaksanakan shalat dan tradisi keagamaan. Mereka dikenal tidak mampu mengakses teknologi sehingga dikategorikan sebagai pelajar murni.

Di sisi lain, Zulham tak menampik telah terjadi dinamika pertumbuhan milenial di luar komunitasnya. Mereka seakanakan berbondong-bondong menjadikan Islam sebagai gaya hidup. Menurut Zulham, fenomena tersebut cukup banyak terjadi di Jawa Timur. Hal ini karena NU sangat identik dengan pesantren, maka pihaknya tentu perlu berupaya agar kalangan pemudanya tidak tertinggal dalam hal teknologi.

Untuk itu, pihaknya kini tengah mengadakan tiga program yang harus masuk ke dunia pesantren. Program-program tersebut, seperti Ngaji Desain, Ngaji Medsos, dan Ngaji Digital. "Kita usahakan untuk masuk pesantren dan kalau di pesantren berkonsep modern, ini sudah digaungkan. Dengan demikian, mereka tidak tertutup dengan teknologi sehingga lebih dinamis," kata Zulham.

Selama ini, ada anggapan dunia pesantren dikenal lebih tertutup dalam menerima keilmuan, seperti teknologi. Hal ini terutama pesantren yang dipimpin para kiai tradisional. Mereka cenderung belum menerima dengan baik keberadaan teknologi dibandingkan para "gus" muda.

Karena itu, Zulham menilai, batasan tersebut perlu didobrak agar para santri dapat berkontribusi untuk bangsa pada masa depan. Para santri setidaknya memiliki potensi menggerakkan dakwah Islam kepada warganet Indonesia. "Dan, seluruh pesantren di Jatim telah kita usulkan juga agar memiliki internet corner. Tapi, karena 20 persen pesantren di Jatim ada yang masih konvensional, jadi belum berani," kata dia.

Upaya pengembangan literasi digital di pesantren juga diungkapkan Sekretaris Lakpsedam NU Kota Pasuruan, Mochammad Iskandar Zulkar nain. Kendala mengembangkan dunia internet tidak saja berfokus pada anak muda, tetapi para kiainya juga. Situasi ini dapat terjadi karena permasa lahannya mereka merupakan kalangan yang baru memahami teknologi. "Sehingga, apa yang diterima di android (telepon genggam) seolah-olah benar semua," kata dia.

Menurut Zulkarnain, pendidikan literasi digital sangat penting diterapkan di dunia pesantren. Upaya ini setidaknya mampu membantu mereka menentukan mana konten benar dan salah. Untuk itu, banyak komunitas pemuda NU Jatim yang berkecimpung dalam kegiatan ini cukup lama, yakni sejak tiga tahun lalu.

"Banyak komunitas yang sudah melakukan, seperti GP Ansor, Komunitas Cyber NU, dan komunitas lainnya yang dilahirkan dari anak muda. Semua ada karena hampir semua kabupaten dan kota ada organisasi kepemudaan kita," ujarnya menegaskan.

Dari semua hal tersebut, Zulkarnain berpendapat, pada dasarnya para pemuda Indonesia, terutama Jatim, lebih membutuhkan diskusi lebih banyak. Tak hanya berfokus pada NU, tetapi pemahaman keagamaan dan keindonesiaan juga dibutuhkan komunitas lainnya. Hal-hal ini, kata dia, sebenarnya telah menjadi pekerjaan lama para Nahdliyin Muda Indonesia.

"Kita harus silaturahim dengan yang lain karena NU komitmen tidak hanya sekadar ideologi Islam, tapi untuk rumah besar Indonesia yang harus terjaga," kata dia. n ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement