Kamis 29 Nov 2018 05:53 WIB

KPK Dorong Perbaikan Pengendalian Internal di MA

Pengendalian internal seharusnya bisa mencegah tindak pidana korupsi di pengadilan.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata bersama Juru Bicara KPK Febri Diansyah memberikan keterangan terkait kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Cirebon saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (25/10).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata bersama Juru Bicara KPK Febri Diansyah memberikan keterangan terkait kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Cirebon saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (25/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendorong adanya perbaikan pengendalian internal di Mahkamah Agung (MA). Dorongan ini setelah operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap dua hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada Selasa (27/11).

"Kami sudah menggandeng BPKP untuk melakukan audit operasional terhadap beberapa pengadilan yang kami anggap cukup representatif, di mana pengendalian internal seharusnya bisa mencegah tindak pidana korupsi di pengadilan yang umumnya terkait suap, ini yang sebetulnya kami ingin dorong untuk MA bisa memperbaiki diri," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di gedung KPK Jakarta, Rabu (28/11).

KPK menetapkan dua hakim, yaitu Iswahyu Widodo dan Irwan sebagai tersangka penerima suap bersama panitera Muhammad Ramadhan. Ketiganya diduga menerima suap sekira Rp 650 juta dalam bentuk 47 ribu dolar Singapura (sekira Rp500 juta) dan Rp 150 juta dari advokat Arif Fitrawan (AF) dan seorang pihak swasta Martin P Silitonga (MPS).

"Persoalannya menurut kami terkait integritas hakim tersebut, secara umum, persoalan integritas. Hakim sudah ada perbaikan kesejahteraan karena untuk jajaran penegak hukum, penghasilan hakim lebih baik dari aparat penegak hukum lain, baik kepolisian maupun kejaksaan ini yang kami sayangkan," ungkap Alex.

Reformasi birokrasi di lembaga pengadilan, menurut Alex, dinodai dengan oknum hakim menerima suap itu. "Kami terus berkoordinasi dengan jajaran MA ada evaluasi terkait dengan tata kelola di peradilan, misalnya akan mengevaluasi prosedur penanganan perkara dengan para pihak itu berinteraksi dengan aparat pengadilan," tambah Alex.

Terkait penerapan hukuman maksimal, baru ada satu hakim yang pernah dituntut seumur hidup dan juga dihukum seumur hidup, yaitu mantan hakim konstitusi Akil Mochtar. "Tentu banyak pertimbangan saat JPU KPK melakukan penuntutan juga saat hakim menjatuhkan putusan," kata dia.

Berkaca dari perkara sebelumnya, Alexander menjelaskan alasan JPU menuntut seumur hidup dan hakim sepakat. "Jelas dalam fakta persidangan terungkap dan yang bersangkutan (Akil) tidak mengakui kesalahannya, tetap merasa tidak bersalah, jadi dalam pertimbangan majelis hakim tidak ada pertimbangan hal-hal yang meringankan maka JPU bisa mengajukan tuntutan seumur hidup," kata Alex.

Ia pun menjelaskan KPK tidak bisa serta merta menuntut hukuman paling berat bila hakim menyesali dan membuat kasus tersebut lebih terang. "Kita lihat di proses penyidikan sampai persidangan apakah yang bersangkutan kooperatif atau menyesali perbuatan, atau membuka kasus yang lain, karena itu akan jadi hal yang meringankan, ketika ada hal meringankan jadi pertimbangan hakim tentu tidak bisa jadi dasar untuk menjatuhkan hukuman seumur hidup," tambah Alex.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement