Kamis 29 Nov 2018 00:17 WIB

SMK dan Pengangguran Terbuka

Banyak SMK yang tidak memiliki labolatorium dan hanya belajar teori.

Esthi Maharani
Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Esthi Maharani*

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pada Agustus 2018, tingkat pengangguran terbuka (TPT) didominasi lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yakni sebesar 14,7 juta orang atau 11,24 persen. Sementara itu, tingkat pengangguran terendah sebesar 2,43 persen terdapat pada penduduk berpendidikan sekolah dasar (SD) ke bawah.

Secara keseluruhan, tingkat pengangguran terbuka menurut daerah sebesar 5,34 persen pada Agustus 2018. Jumlah ini turun 0,16 persen dibandingkan posisi Agustus 2017 yang sebesar 5,50 persen.

Tingkat pengangguran terbuka adalah indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat penawaran tenaga kerja yang tidak digunakan atau tidak terserap oleh pasar kerja. Pengangguran pada Agustus 2018 tercatat sebesar 7 juta orang atau menurun 40 ribu orang dibandingkan Agustus 2017.

BPS mencatat, tingkat pengangguran terbuka di perkotaan pada Agustus 2018 sebesar 6,45 persen atau tercatat lebih tinggi dibandingkan di perdesaan 4,04 persen. Dibanding dengan posisi Agustus 2017, tingkat pengangguran terbuka di perkotaan menurun 0,34 persen poin dan di perdesaan meningkat tipis 0,03 persen poin. Tingkat pengangguran di desa mengalami kenaikan menjadi 4,04 persen dari tahun sebelumnya sebesar 4,01 persen.

Jika ditelisik, ada banyak faktor yang membuat lulusan SMK menjadi penyumbang tertinggi angka penggangguran. Pertama, banyaknya SMK yang tidak memiliki labolatorium dan hanya belajar teori. Padahal, sarana dan prasarana yang memadai adalah kunci. Termasuk di dalamnya pembaruan sarana dan prasarananya yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dan industri. Dengan begitu, pola mengajar pun akan terfokus pada penguasaan keterampilan dibandingkan teori. Sebagai contoh, di Jakarta ada 500an SMK swasta dan hanya 63 SMK negeri. Celakanya, banyak SMK tersebut yang membuka jurusan teknik tetapi tidak memiliki bengkel ataupun labolatorium yang biasa digunakan di perusahaan atau industri.

Kedua, masih belum terjembataninya tenaga kerja dengan kebutuhan lapangan pekerjaan. Program pemerintah berupa program vokasi dan link and match sejak dua tahun lalu belum menunjukkan hasil signifikan. Masih terjadi oversupply antara jumlah lulusan SMK dengan kebutuhan industri. Belum lagi persoalan kualitas lulusan yang tidak sesuai dengan standar industri dan persoalan usia lulusan yang rata-rata baru 17 tahun sehingga mereka harus menunggu satu tahun lagi untuk bekerja.

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto berdalih program vokasi dan link and match membutuhkan waktu untuk menampilkan hasil efektif. Airlangga menjelaskan, tingginya tingkat pengangguran dari lulusan SMK disebabkan mereka belum masuk dalam program vokasi maupun link and match yang dicanangkan pemerintah pada 2016.

"Program baru efektif dua tahun, jadi belum semua anak SMK masuk dalam program ini," katanya belum lama ini.

Ketiga, belum ada penyesuaian antara SMK ataupun vokasi dengan potensi daerah. Hal ini perlu dilakukan agar lulusan pendidikan vokasi dan SMK bisa mendapatkan lapangan pekerjaan, dan pelaku usaha juga bisa mendapatkan pasokan Sumber Daya Manusia (SDM) lulusan vokasi yang berkualitas.

Pemerintah daerah perlu mengidentifikasi dan mengusulkan bidang apa saja yang dibutuhkan di daerahnya. Pemda bisa menetapkan dua hingga tiga bidang industri yang menjadi potensi utama dalam pengembangan vokasi. Bidang industri tersebut kemudian akan disesuaikan dengan pengajaran, praktik, serta magang dengan dunia usaha. Misalnya, industri kopi bisa dioptimalkan oleh para lulusan SMK dan vokasi sejak dari pembenihan, budidaya, hingga pemasaran. Penetapan fokus tersebut, agar lulusan vokasi benar-benar memiliki keterampilan yang dibutuhkan industri.

Keempat, kompetensi guru. Mayoritas guru SMK hanya menguasai teori tanpa pernah langsung berkecimpung di dunia industri. Para guru tidak diberi bekal memadai untuk menguasai ilmu dasar dan perkembangan keterampilan yang dibutuhkan pasar kerja. Alhasil, kecepatan kebutuhan dunia usaha dan dunia industri tidak terikuti.

Persoalan yang membelit SMK dan vokasi memang tidak bisa diselesaikan dari satu titik. Solusi untuk menekan angka pengangguran lulusan SMK pun sebenarnya sudah terangkum dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK.

Inpres tersebut menginstruksikan adanya penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan industri, peningkatan jumlah dan kompetensi industri, peningkatan jumlah dan kompetensi guru, revitalisasi fasilitas dan alat praktik. Di dalamnya juga termasuk peningkatan uji kompetensi, sertifikasi dan akreditasi, serta peningkatan kerja sama SMK dengan industri.

Memang, kebijakan di dunia pendidikan tak akan menunjukkan hasil dalam waktu yang instant. Namun, harus digarisbawahi bahwa kebijakan itu perlu secara konsisten dilakukan agar pembenahan pun bisa paripurna.

*) Penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement