REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Subdirektorat Statistik Upah dan Pendapatan Badan Pusat Statistik (BPS), Dendi Romadhon mengatakan baru 83,33 persen anak di Indonesia yang memiliki akte kelahiran. Akte kelahiran penting agar hak-hak sipil anak menjadi jelas.
"Padahal, konvensi PBB 1989 mengharuskan semua anak untuk didaftarkan segera setelah kelahirannya," kata Dendi dalam Seminar Publikasi Data dan Informasi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 2018 yang diadakan di Jakarta, Selasa (27/11).
Dia mengatakan, ketidakjelasan hak sipil anak akibat tidak memiliki akte kelahiran tidak hanya berdampak pada status warga negara serta perlindungannya. Ketidakjelasan hak sipil anak juga berdampak pada hak dan kewajiban yang bersangkutan di masa mendatang.
"Persentase kepemilikan akte kelahiran terendah di Indonesia terjadi di lima provinsi, yaitu Papua (44,50 persen), Nusa Tenggara Timur (56,64 persen), Papua Barat (70,65 persen), Sulawesi Tengah (71,52 persen) dan Sumatera Utara (71,78 persen)," ujar Dendi.
Secara jenis kelamin, anak perempuan relatif lebih banyak memiliki akte kelahiran daripada anak laki-laki dengan perbandingan 83,7 persen dan 83 persen. Secara wilayah, anak-anak yang tinggal di perkotaan lebih banyak memiliki akte kelahiran daripada di perdesaan, yaitu dengan perbandingan 88,5 persen dan 77,3 persen.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak(P3A) bekerja sama dengan BPS mengadakan Seminar Publikasi Data dan Informasi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 2018. Menteri P3A, Yohana Susana Yembise dalam sambutannya yang disampaikan Sekretaris Menteri, Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan data dan informasi memiliki posisi yang strategis dalam penyelenggaraan pembangunan dan pemerintahan.
"Khususnya dalam memberikan gambaran dan fakta di lapangan dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan, sebagai pondasi dalam menyusun regulasi, kebijakan program sekaligus dasar melakukan evaluasi dan referensi serta justifikasi dalam menyelesaikan suatu masalah," katanya.