Rabu 28 Nov 2018 03:11 WIB

Tobatnya Anak Punk

Anak-anak punk dengan penuh tato memilih tobat dari perbuatan maksiat.

Anak punk dan anak jalanan belajar membaca buku Iqra bersama komunitas tasawuf underground di kolong jembatan depan Stasiun Tebet, Jakarta Selatan.
Foto: Republika/Fuji E Permana
Anak punk dan anak jalanan belajar membaca buku Iqra bersama komunitas tasawuf underground di kolong jembatan depan Stasiun Tebet, Jakarta Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuji Eka Permana

Fenomena kembali ke agama sebagai jalan hidup kerap diasosiasikan dengan kaum paruh baya yang telah mapan. Kendati demikian, beberapa tahun belakangan semangat serupa juga kian tampak di kalangan pemuda kota-kota besar di Indonesia. Republika.co.id mencoba menangkap geliat gerakan ini di sejumlah daerah.

Bagi warga kota-kota besar seperti Jakarta, mereka bukan sukar ditemui. Pemuda- pemudi dengan potongan celana kusam mepet menempel kaki, sepatu bot, kaus hitam, dan potongan rambut dibiarkan panjang atau dipotong bergaya mohawk, telinga dan hidung ditindik, bertato, setelan khas gerakan subkultur punk. Berkerumun di pojok-pojok jalanan, menaiki angkutan kota, mencari uang dengan mengamen, terkadang berbekal tepuk tangan semata sebagai alat musik pengiring.

Namun, sore hari itu, bukan lagu-lagu antikemapanan yang keluar dari mulut anak-anak punk tersebut. Tidak bergema koor wajib punk, "Hey hoo ... let's gooo!" yang dipopulerkan oleh grup musik asal Brooklyn, New York, Amerika Serikat, The Ramones.

Yang terdengar justru, A, ba, ta, tsa, ja, kha, kho ..., dengan lantang dari kolong jembatan di depan Stasiun Tebet, Jakarta Selatan. Belasan anak-anak dan pemuda penuh tato berkulit gelap tampak dengan tekun mengeja huruf Arab itu. Di depan mereka, seorang pemuda berpeci membimbing dengan sabar. Bising raungan mesin kendaraan dan bau sampah menyengat terbawa angin tak mengurangi kekhusyukan mereka.

Biasanya terkesan jauh dari agama, belakangan sejumlah anggota komunitas tersebut memberanikan diri belajar membaca huruf hijaiyah dan mendengarkan tausiyah. "Targetnya ingin bisa membaca Iqra supaya bisa membaca Alquran, tapi khawatir belajar ini berhenti di tengah jalan," kata Rendy (26 tahun), satu dari mereka saat ditemui Republika.co.id di kolong jembatan depan Stasiun Tebet, Jumat (16/11).

photo
Anak punk dan anak jalanan belajar membaca buku Iqra bersama komunitas tasawuf underground di kolong jembatan depan Stasiun Tebet, Jakarta Selatan.

Sejak kelas III SD, Rendy sudah turun ke jalanan untuk mengamen demi mengumpulkan rupiah. Saat itu, ayahnya terkena PHK dan kondisi memaksanya turun ke jalan. Ia masih beruntung mampu menyelesaikan wajib belajarnya hingga dapat ijazah SMP.

Rendy menegaskan, sejak dulu percaya keberadaan Allah dan takut terhadap azab-Nya. Namun, rasa malu dan harga diri terlalu mengekang dirinya untuk ikut belajar membaca buku Iqra dan Alquran.

"Anak-anak kecil sudah bisa membaca Alquran, saya baru belajar membaca Iqra. Gengsi saya, malu, tapi belajar di sini saya enggak malu," ujarnya sambil tertawa ringan.

Rendy dan teman-temannya sesama anak jalanan baru belajar membaca buku Iqra di kolong jembatan sejak sepekan sebelumnya. Ia mengatakan, ingin menjalankan perintah Allah SWT, bisa bisa mendoakan kedua orang tua, dan ingin bisa mengajari anak mengaji karena sudah punya dua anak yang berusia enam dan empat tahun.

"Keempat, orang tua ingin saya tobat, kata orang tua harus melaksanakan shalat untuk mengurangi dosa-dosa," ujarnya dengan lembut dan ramah meski tubuhnya penuh dengan tato.

Anak punk lainnya, Niken Ferdiansyah, yang lebih dikenal dengan sebutan Aceng, mengungkapkan hal yang sama dengan Rendy. "Saya enggak bisa shalat, enggak bisa ngaji, takut gimana nanti saya di akhirat. Ya, saya berusaha cari bekal untuk di akhirat. Tato juga ingin dihapus, kayak macam-macam hijrah gitu," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement