REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) mengakui banyak pekerja perempuan yang mengalami diskriminasi dan kekerasan di lingkungan kerjanya.
"Masalah ketenagakerjaan di Indonesia merupakan masalah kompleks karena dipengaruhi berbagai faktor, seperti kualitas sumber daya manusia, jumlah calon pekerja yang melebihi ketersediaan lapangan kerja, masih adanya budaya stereotip yang menganggap perempuan sebagai pekerja domestik," ujar Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Vennetia R Dannes dalam Sosialisasi Setop Diskriminasi dalam Ketenagakerjaan melalui Dialog Interaktif Kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Selasa (27/11).
Ia menyebutkan, banyak pengusaha yang masih kurang memperhatikan dan belum memenuhi hak-hak tenaga kerja perempuan, khususnya hak perlindungan sesuai kodrat, seperti cuti saat haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Kondisi itulah yang menghambat peningkatan peran dan partisipasi perempuan dalam ekonomi dan ketenagakerjaan, sehingga kesenjangan gender dalam ekonomi dan ketenagakerjaan sampai saat ini masih cukup besar.
Menyikapi hal itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) telah menetapkan program Unggulan Three Ends atau Tiga Akhiri), yaitu pertama akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, kedua akhiri perdagangan orang, dan ketiga akhiri kesenjangan akses ekonomi terhadap perempuan. Perlindungan hak perempuan dalam ketenegakerjaan berkaitan erat dengan program Three Ends ini, karena perempuan pekerja di Indonesia banyak mengalami kekerasan baik di tempat kerja maupun dalam rumah tangga (KDRT).
Ia mengklaim Kementerian PPPA terus berupaya menjamin hak-hak dasar perempuan pekerja, melalui kebijakan perlindungan tenaga kerja perempuan seperti penegakan ketaatan penerapan norma kerja, penyediaan sarana dan prasarana kerja yang responsif gender, peningkatan kesehatan dan gizi yang optimal serta memenuhi hak-hak reproduksinya. Selain itu, Kementerian PPPA bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) juga telah melakukan kesepakatan bersama untuk mendorong Gerakan Pekerja Perempuan Sehat Produktif (GP2SP) untuk meningkatkan kepedulian memperbaiki kesehatan perempuan pekerja, demi meningkatkan produktivitas kerja dan kualitas generasi penerus bangsa.
Kementerian Ketenagakerjaan juga telah membentuk tim pengawas ketenagakerjaan untuk mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait ketenagakerjaan di Indonesia. Ia berharap sosialisasi itu dapat meningkatkan pengetahuan, kepedulian dan tanggung jawab berbagai pihak, baik pengusaha, serikat pekerja, mahasiswa dan masyarakat umum lainnya dalam melindungi tenaga kerja perempuan dari diskriminasi dan kekerasan, khususnya memenuhi hak reproduksi mereka di tempat kerja. "Mari kita bersinergi, melindungi tenaga kerja perempuan, berilah mereka rasa aman dan nyaman, untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja perempuan dalam mengisi pembangunan bangsa ini. Setop diskriminasi dalam ketenagakerjaan, penuhi hak reproduksi perempuan pekerja,” ujar Vennetia.
Vennetia juga menambahkan, perlu penguatan jejaring yang terdiri dari Kementerian/Lembaga, asosiasi pengusaha, serikat buruh/pekerja, aparat penegak hukum di setiap level mulai pusat, provinsi hingga kab/kota untuk melindungi tenaga kerja perempuan dari pelanggaran-pelanggaran hak berbasis gender sebagai tenaga kerja.