Senin 26 Nov 2018 20:00 WIB

Dewan Pers Ingatkan Pemboikotan Media Bisa Sanksi Pidana

Dewan Pers tak menutup kemungkinan memediasi BPN-Metro TV.

Rep: dian erika nugraheny/ Red: Muhammad Hafil
Jurnalistik
Jurnalistik

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Ketua Dewan Pers, Yosep 'Stanley' Adi Prasetyo, mengatakan pemboikotan media bisa berpotensi sanksi pidana. Hal ini diungkapkan saat menanggapi adanya surat edaran dari Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga yang memboikot Metro TV.

Stanley menjelaskan, kedua pihak baik BPN dan Metro TV seharusnya saling melakukan introspeksi. Kepada Metro TV, pihaknya meminta untuk mengevaluasi apakah pemberitaannya memang berat sebelah atau tidak yang pada akhirnya berujung pada pemboikotan.

"Kedua, kami ingatkan kepada pemboikot (BPN) bahwa kalau menghalang-halangi kerja wartawan untuk mendapatkan informasi, bukan hanya merugikan, tapi terancam terkena pasal pasal 18 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, yang menyebut ada ancaman pidana untuk menghalangi kerja wartawan," ujar Stanley kepada wartawan di Hotel Grand Mercure, Jakarta Pusat, Senin (26/11).

Aturan ini secara rinci dijelaskan dalam pasal 18 ayat (1), yang berbunyi 'Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah)'. Kemudian pasal 4 ayat (2) berbunyi 'terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran'. Ayat (3) berbunyi 'untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi'.

Stanley melanjutkan Dewan Pers belum melakukan pengusutan atas surat edaran itu. Dewan Pers menyada kan pihak BPN melaporkan hal ini kepada mereka.

"Jika sudah dilaporkan, kami akan panggil stasiun televisinya. Atau bisa juga stasiun televisinya melapor kepada Dewan Pers, bilang bahwa 'kami diboikot, tolong dinilai karya kami selama ini seperti apa, melanggar etik atau bukan. Dengan begitu ada titik temu di antara kedua belah pihak," paparnya.

Stanley mengungkapkan, sampai saat ini pihaknya masih menunggu adanya insiatif dari BPN atau Metro TV untuk melaporkan. Namun, kalau medianya tidak merasa dirugikan, Dewan Pers tidak bisa memaksa. Dewan Pers juga tidak menutup kemungkinan untuk memediasi keduanya.

Sebelumnya, Hashim Djojohadikusumo selaku Direktur Komunikasi dan Media Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, mengeluarkan surat edaran tertanggal 22 November 2018 perihal menolak permohonan wawancara salah satu televisi swasta. Surat Nomor: 02/DMK/PADI/11/2018 yang sempat beredar melalui sejumlah grup Whatsapp itu ditujukan kepada seluruh anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi.

Surat ini terkait dengan instruksi dari Ketua BPN Prabowo Subianto/Sandiaga Uno, Djoko Santoso, untuk memboikot Metro TV. Dalam suratnya, Hashim Djojohadikusumo menegaskan bahwa seluruh komponen BPN, termasuk partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Adil Makmur agar menolak setiap undangan maupun wawancara yang diajukan televisi swasta itu hingga waktu yang ditentukan.

Sementara, Kepala Media Center BPN Prabowo-Sandi, Ariseno Ridhwan mengungkapkan alasan pihaknya memboikot Metro TV. Pihak Prabowo-Sandi menilai, apa yang disiarkan Metro TV selama ini terkesan tidak seimbang dan cenderung tendensius.

"Mereka seperti apa? Silakan tanya ke masyarakat. Selama ini mereka disuguhi tayangan apa terkait pilpres? Bagi kami, tayangan Metro TV terkesan tidak berimbang dan cenderung tendensius. Sementara mereka menggunakan frekuensi publik dalam siarannya. Frekuensi publik ini milik semua warga negara, jadi objektivitas harus dijaga," ujar Ariseno.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement