REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta menyoroti perairan Jakarta terancam pencemaran dan kerusakan lingkungan dari sampah yang tidak terkelola dengan baik. Walhi DKI meminta Pemprov DKI Jakarta mengambil pelajaran dari kasus tewasnya paus di Wakatobi dengan kandungan lima kilogram sampah di perutnya.
Direktur Eksekutif WALHI DKI Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi mengatakan Jakarta memiliki perairan yang merupakan ekosistem penting sekaligus sumber kehidupan rakyat pesisir. Tapi sampah seperti kantong plastik, styrofoam, dan plastik kemasan dengan berbagai merek mudah temui di perairan Jakarta. Bahkan masyarakat Pulau sering mendapat kiriman sampah secara tiba-tiba.
"Selama ini ada pembiaran perairan Jakarta terus tercemari oleh sampah. Perairan Jakarta sudah terpapar mikroplastik dan mengancam ekosistem di dalamnya. Kejadian di Wakatobi harus dijadikan Pemrov Jakarta sebagai sebuah pelajaran penting menyelamatkan pesisir dan perairan Jakarta," katanya dalam keterangan resmi pada wartawan, Ahad (25/11).
Ia menyebut perairan Jakarta masih menjadi habibat bagi biota laut di tengah maraknya sampah plastik. Terbukti, kata dia, dari penampakan Hiu Paus tutul yang beberapa kali ditemui di Kepulauan Seribu.
"Artinya perairan Jakarta juga merupakan tempatnya berbagai jenis satwa laut, pesisir, terumbu karang, dan padang lamun yang dapat di kita temui tersebar di perairan pulau-pulau kecil di kepulauan seribu," ujarnya.
Di sisi lain, ia memandang rencana Pemprov DKI Jakarta mengelola sampah dengan proyek bakar-bakaran bukan jawaban tepat mengatasi persoalan sampah. Ia menyarankan Pemprov DKI Jakarta menekan penggunaan plastik maupun berbagai jenis sampah yang dapat membahayakan lingkungan.
"Artinya ditekan dari sumbernya, bukan kemudian mengatasi sampah Jakarta dengan cara pragmatis, yakni bakar-bakaran. Tanggung jawab produsen harus dikejar, bukan membebankan kepada warga dan lingkungan hidup," jelasnya.
Menurutnya, produsen barang atau kemasan yang sulit didaur ulang wajib bertanggungjawab atas hasil produksinya. Hal itu sesuai dengan Pasal 15 Undang-Undang No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
"Karena setiap barang yang dibeli oleh masyarakat terdapat biaya untuk kemasan. Artinya konsumen dan masyarakat punya hak mendapatkan kualitas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dan produsen harus bertanggung jawab," tambahnya.