Senin 26 Nov 2018 06:07 WIB

Ketika Arwah Khashoggi Jadi Alat Penekan Politik

Hubungan Turki-Saudi selama ini kurang harmonis terutama sejak pengangkatan MBS.

Ikhwanul Kiram Mashuri
Foto:

Kedua, Turki selama ini telah dengan terang-terangan mendukung Qatar yang telah dikucilkan oleh Saudi dan negara-negara Teluk lainnya. Ketiga, Turki burhubungan baik dengan Iran yang dianggap oleh Saudi sebagai musuh bebuyutannya.

Dalam kasus pembunuhan Khashoggi, Turki tahu betul bagaimana memanfaatkan media — lokal dan internasional. Terutama media Aljazeera yang dimiliki oleh penguasa Qatar dan Washington Post  yang dekat dengan Partai Demokrat dan sekaligus pengritik utama kebijakan Trump.

Washington Post juga merupakan media tempat Khashoggi melancarkan berbagai kritik terhadap penguasa Saudi. Dan, Washington Post-lah yang merilis pertama kali hasil analisis CIA (badan intelijen AS) yang menyatakan MBS terlibat dengan pembunuhan sang wartawan.

Namun, Washington Post bukanlah AS. Pandangan resmi AS tetaplah Presiden Donald Trump. Dan, ketika Trump menegaskan negaranya akan terus mendukung Saudi, maka penguasa negara petro dolar itu pun bisa bernapas lega.

Dukungan diberikan karena Saudi telah berkomitmen untuk meneken kontrak senjata dengan AS bernilai miliaran dolar. Saudi juga dipandang Trump sebagai mitra strategis dalam memerangi radikalisme/terorisme dan menghadapi ambisi Iran.

Entah karena yakin tak terlibat dalam pembunuhan Khashoggi atau lantaran dukungan Presiden Trump, yang jelas MBS kini lebih percaya diri. Kepercayaan diri yang ditunjukkan dengan kunjungan kenegaraan ke sejumlah negara. Dari Uni Emirat, Bahrain, Mesir, Tunisia, Aljazair, Muritania, dan diakhiri dengan menghadiri KTT G 20 di Argentina.

Kita tidak tahu bagaimana akhir dari drama kasus pembunuhan Khashoggi. Yang jelas, arwah sang wartawan kini justru dijadikan sebagai alat saling menekan oleh berbagai pihak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement