Sabtu 24 Nov 2018 09:25 WIB

Dedi Prihatin Honorer K2 Sulit Diangkat Jadi CPNS

Keluarnya UU tentang ASN, semakin menyulitkan mereka untuk menjadi PNS.

Rep: Ita Nina Winarsih/ Red: Agus Yulianto
Ketua DPD Golkar Jabar, Dedi Mulyadi didampingi Ketua Umum Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) Titi Purwaningsih  (hijab biru) saat menggelar jumpa pers di salah satu hotel di Kabupaten Purwakarta, Jumat (23/11).
Foto: Foto: Ita Nina Winarsih
Ketua DPD Golkar Jabar, Dedi Mulyadi didampingi Ketua Umum Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) Titi Purwaningsih (hijab biru) saat menggelar jumpa pers di salah satu hotel di Kabupaten Purwakarta, Jumat (23/11).

REPUBLIKA.CO.ID, PURWAKARTA -- Tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang diselenggarakan pemerintah, bukan solusi atas masalah yang mendera tenaga honorer. Terutama, honorer yang telah masuk dalam kategori dua (K2). Pasalnya, hingga kini, pegawai yang telah mengabdikan hidupnya untuk bangsa ini, masih belum jelas statusnya.

"Padahal, mereka setiap hari bekerja. Meskipun upahnya sangat minim, tak menyurutkan tenaga honorer ini untuk tetap mengabdi," ujar Ketua DPD Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi, kepada Republika.co.id, Jumat (23/11).

Karena itu, mantan bupati Purwakarta dua periode ini, merasa terpanggil untuk turut ikut berjuang dengan para honorer K2 ini. Apalagi, Dedi sangat hafal betul, selama 10 tahun memimpin Purwakarta, jasa para honorer sangat besar. Salah satu contohnya, untuk sektor pendidikan. 

Di Purwakarta, banyak sekolah yang kekurangan guru ASN. Supaya kegiatan belajar dan mengajar terus berjalan, maka peran guru ASN ini digantikan oleh mereka. Meskipun berbekal SK pengangkatan dari kepala sekolah, dan hanya diberi upah Rp 150 ribu per bulan dari dana BOS, mereka tetap semangat mengabdikan diri untuk dunia pendidikan. 

Begitu pula dengan honorer lainnya. Seperti, petugas pemadam kebakaran, petugas di bina marga, di kesehatan dan penjaga sekolah, tanpa mengeluh mereka tetap masuk kerja setiap harinya. Tetapi, mimpi dan keinginan mereka untuk mengubah status dari honorer ke CPNS, terasa begitu sulit. 

Jalan panjang dan terjal yang mereka lalui, kata Dedi, tetap tak mendapat perhatian dari pemerintah. Berbagai upaya, mulai dari dialog, mediasi, sampai demo berjilid-jilid tetah mereka lakoni.

"Tetapi apa, sampai sekarang mereka kesulitan diangkat CPNS. Apalagi, dengan keluarnya UU tentang ASN, semakin menyulitkan mereka untuk menjadi pegawai pemerintah tersebut," ujar Dedi.

Menurut penilaiannya, ribuan honorer K2 ini bisa diangkat CPNS. Meskipun pengangkatannya bertahap. Salah satu, pertimbangannya yaitu dengan lamanya masa pengabdian. "Karena judulnya pengabdian, maka harus setia pada Pancasila dan UUD 1945. Saya pikir, dengan pengangkatan ini lebih soft dibandingkan tes yang kita tidak tahu nanti yang lulus tes setia apa tidak terhadap pancasila dan UUD 45," ujar Dedi.

Dedi menyebutkan, terdapat indikator lain yang tidak ditemukan dalam diri para peserta tes CPNS dari jalur umum. Indikator tersebut adalah keikhlasan. Tenaga honorer sudah teruji keikhlasannya dalam menjalankan pengabdian selama bertugas.

Aspek ini, harus menjadi pertimbangan utama pemerintah dalam melihat tenaga honorer. Seharusnya, mereka kan menjadi prioritas. Saat ini kan banyak juga pegawai yang sudah memasuki masa pensiun. Jadi, sudah sewajarnya pegawai yang pensiun ini digantikan oleh honorer.

"Istilahnya, pakai urut kacang. Siapa yang paling lama mengabdi, dia yang diangkat jadi CPNS menggantikan pegawai yang pensiun," ujarnya.

Ketua Umum Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) Titi Purwaningsih menyambut baik keinginan Dedi Mulyadi. Dirinya berterima kasih karena Dedi bersedia melakukan pendampingan terhadap gerakan tenaga honorer dalam memperjuangkan nasibnya. 

"Sejak awal, keinginan kami memang begitu. Kami ingin diangkat menjadi PNS tanpa melihat usia, masa bakti kami di institusi negara harus menjadi pertimbangan utama," ujarnya.

Titi menyebutkan, jumlah honorer yang masuk dalam K2 mencapai 430 ribu jiwa. Tersebar di 34 provinsi. Mereka bekerja di bawah naungan 17 kementerian dan 60 instansi. Khusus untuk Jawa Barat, jumlahnya mencapai 50 ribu jiwa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement