Kamis 22 Nov 2018 22:26 WIB

Perbedaan Indikator Angle of Attack Jadi Awal Masalah JT 610

KNKT hari ini memaparkan hasil pembacaan black box Lion Air JT 610 kepada DPR.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Andri Saubani
Warga korban pesawat Lion Air JT-610 yang jatuh menaburkan bunga sekaligus doa bersama di KRI Banjarmasin 592 di Perairan Karawang, Jawa Barat, Selasa (6/11).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Warga korban pesawat Lion Air JT-610 yang jatuh menaburkan bunga sekaligus doa bersama di KRI Banjarmasin 592 di Perairan Karawang, Jawa Barat, Selasa (6/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi V DPR pada Kamis (22/11) memanggil Menteri Perhubungan, dan pemangku kepentingan terakit seperti  KNKT serta Basarnas. Dalam rapat itu, dibahas soal jatuhnya Lion Air JT 610.

Ketua Komisi V DPR Fary Djemi Francis mengungkapkan, DPR ingin mendengar beberapa penjelasan dari para mitra terkait musibah pesawat Lion Air maupun kecelakaan secara umum. Dari KNKT, Komisi V DPR mengharapkan data rekomendasi menyusul kecelakaan tragis Lion Air.

"Untuk itu maka kami minta ke pak menteri dan seluruh jajaran berkaitan dengan bagaimana upaya keseriusan kita dalam rangka menuju ke zero accident," ujar Fary.

Dalam rapat itu, keterangan dari pihak KNKT memang menjadi yang paling ditunggu. Berdasarkan pemaparan Kepala Sub Komite Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo, diketahui terjadi masalah dalam penunjuk kecepatan antara kapten pilot dan ko-pilot.

Masalah itu diketahui berdasarkan data grafik dari kotak hitam atau black box Flight Data Recorder (FDR) pesawat Lion Air JT-610 tujuan Jakarta-Pangkal Pinang yang jatuh 29 Oktober lalu. Nurcahyo mengatakan, saat pesawat Lion Air JT 610 mulai bergerak setelah lepas landas, terjadi perbedaan penunjukan kecepatan angle of attack (AoA) indikator milik kapten dan kopilot.

"Jadi pada saat pesawat mulai bergerak mulai terjadi perbedaan penunjukan kecepatan antara kapten dan kopilot. Angle of attack indikator sejak mulai dari pesawat bergerak sudah terlihat ada perbedaan antara kiri dan kanan di mana indikator yang kanan lebih tinggi daripada yang kiri," ujar Nurcahyo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (22/11).

Menurut Nurcahyo, saat pesawat mulai bergerak dan penunjuk kecepatan tidak sama dalam kondisi pesawat mulai terbang, grafik dari FDR mencatat dan menunjukkan pesawat mengalami stall. Stall adalah keadaan pesawat yang kehilangan gaya angkat sehingga tidak sanggup lagi melayang di udara sehingga jatuh dari ketinggian dan tidak terkendali.

Pada saat itu, kemudian stick shaker bekerja membuat sisi kemudi kapten pilot bergetar untuk mengingatkan bahwa pesawat akan stall atau kehilangan daya angkat. "Saat menjelang terbang di sini tercatat bahwa ada garis merah di sini yang menunjukan pesawat mengalami stall atau stick shaker, jadi itu adalah kemudinya di sisi kapten mulai bergetar. ini adalah indikasi yg menunjukkan pesawat bahwa akan alami stall atau kehilangan daya angkat," kata Nurcahyo.

Nurcahyo melanjutkan, menurut grafik, saat itu pesawat tetap terbang, dengan sempat turun sedikit kemudian naik lagi. Saat itu, pesawat berada di ketinggian 5.000 kaki atau 1.524 meter.

Akibat pembacaan AoA yang kacau tersebut, membuat mekanisme stabilizer trim atau alat untuk menurunkan hidung pesawat itu secara otomatis bekerja. "Kemungkinan disebabkan angle of attack di tempatnya kapten yang berwarna merah ini menunjukkan 20 derajat lebih tinggi dan kemudian memacu terjadinya stick shaker mengindikasikan ke pilot bahwa pesawat akan stall kemudian automatic system atau MCAS menggerakkan pesawat untuk turun," ujar Nurcahyo.

Namun, pergerakan MCAS tersebut dilawan oleh pilot penerbangan berdasarkan parameter yang nampak dari grafik yakni trim down pesawat dilawan pilot dengan trim up pesawat.  Hal ini, kata Nurcahyo, dilakukan pilot hingga akhir penerbangan sebelum jatuh.

"Parameter yang tengah biru tengah ini menunjukkan berapa total trim yang terjadi, setelah trim down angkanya turun di lawan oleh pilotnya trim up, lalu kemudian kira-kira angkanya di angka lima sepertinya ini angka di mana beban kendala pilot nyaman di angka 5. Apabila angkanya makin kecil maka beban semakin berat," ujar Nurcahyo.

Namun demikian, ia mengatakan, tercatat dalam grafik, di akhir-akhir penerbangan, automatic trim terus bertambah. Namun trim yang dilawan pilot, durasinya makin pendek. "Akhirnya jumlah trim-nya makin lama mengecil dan beban di kemudi jadi berat kemudian pesawat turun," ujar Nurcahyo.

Namun Nurcahyo menyatakan, data grafik tidak menunjukkan adanya masalah dalam indikator masalah di penerbangan Lion Air JT-610. "Dari data mesin yang kita peroleh bahwa antara mesin kiri dalam hal ini parameter berwarna biru dan mesin kanan berwarna merah, hampir semua penunjuk mesin menunjukan angka yang konsisten. Jadi kami bisa simpulkan mesin tidak menjadi kendala dalam penerbangan ini," ujar dia.

Baca juga

CVR tetap dicari

Dalam rapat yang sama, Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono menegaskan, pihaknya masih terus mencari cockpit voice recorder (CVR) dari kotak hitam atau black box pesawat Lion Air JT-610. Soerjanto menyebut CVR yang berisi komunikasi di ruang kokpit penting untuk menunjang data-data penyelidikan kecelakaan pesawat tersebut.

"Komunikasi dan suara-suara yang terjadi di dalam cukup penting menunjang data-data yang kami dapatkan di FDR maupun wawancara atau data-data dari ATC, karenanya kami tetap berusaha menemukan CVR," ujar Soerjanto.

Sebab, ia menilai data CVR juga menyangkut kredibilitas negara untuk mencegah kecelakaan kembali terjadi. Ia mengungkap, KNKT menggunakan berbagai macam metode untuk menemukan CVR di sekitar lokasi jatuhnya pesawat. Salah satunya alat yang mendeteksi benda di bawah permukaan air.

"Selanjutnya tim KNKT melanjutkan pencarian CVR dengan beberpa metode dengan menggunakan air resolution sonar sub bottom profiling untuk deteksi benda apa saja yang terendam dalam lumpur," ungkapnya.

Soerjanto mengungkap pencairan juga tetap melibatkan penyelam profesional dan juga beberapa kamera bantuan. Namun, penyelam yang diterjunkan tidak dengan sistem scuba.

"Karena memang hal ini untuk kedalam di bawah 25 meter itu tidak disarankan. Dan kami akan gunakan penyelam-penyelam yang safety untuk lakukan penyelamatan di antara 25-35 meter," ujarnya.

Ia mengungkap, salah satu kendala pencairan CVR juga karena di lokasi jatuhnya pesawat Lion Air dekat dengan area fasilitas anak usaha Pertamina di mana terdapat pipa dan kabel. Sehingga menurutnya, dibutuhkan kapal yang dapat berkemampuan dinamis tanpa merusak pipa dan kabel.

"Jadi enggak perlu buang jangkar. Karena khawatir arus permukaan cukup kuat di mana airnya kalau jangkarnya nanti merusak pipa dan kabel," ucapnya.

Pesawat Lion Air JT 610 tipe Boeing 737 Max 8 bernomor registrasi PK-LQP jatuh di perairan Tanjung Pakis, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, pada 29 Oktober 2018 setelah dilaporkan hilang kontak. Pesawat yang terbang dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Banten) menuju Bandara Depati Amir Pangkalpinang (Bangka Belitung) itu membawa 189 orang, yang terdiri atas penumpang serta pilot dan awak pesawat.

[video] KNKT: Pesawat Diduga Pecah Ketika Menyentuh Air

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement