REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7 Day Reverse Repo Rate dikhawatirkan akan mendorong kenaikan suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) yang dalam beberapa tahun ini mengalami kenaikan. Tak hanya itu, tingginya suku bunga akan menahan laju pertumbuhan industri properti.
Salah satu nasabah KPR bank pelat merah, Ichsan Emerald, mengaku khawatir akan ada kenaikan lagi untuk cicilan rumahnya. Apalagi kenaikan ini terus terjadi setiap tahun sejak ia mulai mencicil tujuh tahun lalu.
"Naik terus per tahun. Dari sekitar 11 persen, sekarang sudah 13,5 persen," ungkap Ichsan.
Ia mengkritik rezim suku bunga yang terus naik saat suku bunga acuan naik. Sementara saat suku bunga acuan turun, perbankan malah tidak menurunkan suku bunga. Hal ini yang memberatkan nasabah KPR.
"(Suku bunga acuan turun) malah nggak turun. Giliran naik, (bank) malah rame-rame naikin," kritiknya.
Tingginya suku bunga KPR ini juga membuat calon nasabah KPR ragu untuk mulai mencicil rumah. Apalagi dengan kondisi ekonomi yang masih belum stabil saat ini.
Karyawan di perusahaan swasta bernama Rafika mengatakan, penghasilannya dan suami yang tidak melebihi dua digit membuat mereka kesulitan untuk mencicil rumah di lokasi yang dekat dengan pusat kota. Meskipun uang muka untuk membeli rumah sudah cukup, namun mereka ragu bisa membayar cicilan rumah dengan lancar apabila suku bunga terus melonjak.
"Kalau cari KPR subsidi, lokasinya terlalu jauh. Sekarang masih mempertimbangkan lokasi yang tepat di mana, dan bank apa yang ada promo fixed rate," kata Rafika.
Menurut Pengamat Properti dari Colliers International Indonesia, Ferry Salanto, suku bunga KPR yang tinggi, menjadi salah satu faktor utama penurunan tren properti sejak 2015. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki suku bunga tinggi dibandingkan negara lain.
"BI 7 Day Reverse Repo Rate dinaikin terus. Kalaupun turun tapi tidak ada penurunan suku bunga oleh perbankan. Walaupun sudah ada mekanisme LTV yang beberapa kali dikeluarkan dan direvisi, saya kira itu tidak cukup jika tidak diimbangi dengan low interest rate," ujar Ferry kepada Republika.co.id, Kamis (22/11).
Pasar properti mengalami penurunan sejak 2015, terutama dari indeks pergerakan harga jual dan juga jumlah serapan yang ada di pasar. Perlambatan ekonomi dan penurunan pasar sewa menyebabkan ekspektasi imbal hasil di properti juga turun. Hal ini menyebabkan turunnya minat bagi masyarakat umum yang membeli properti karena kebutuhan pokok serta masyarakat dengan motivasi investasi.
"Yang berinvestasi pun juga banyak yang membeli rumah dengan cicilan, sehingga berat juga kalau suku bunga tinggi," kata Ferry.
Banyaknya promo suku bunga tetap (fixed rate) menurutnya tidak cukup menarik minat masyarakat untuk KPR. Karena promo tersebut umumnya hanya untuk dua sampai tiga tahun pertama, dan setelahnya akan dikenakan floating rate.
Sementara itu untuk para pelaku properti masih wait and see mengamati kondisi ekonomi dan politik. Selain memerlukan kondisi ekonomi yang stabil, pasar properti juga memerlukan kondisi politik yang stabil. Diperkirakan pasar properti akan mulai bergerak setelah Pilpres 2019.
"Momentumnya itu adalah 2019 setelah pemilu, setelah bulan April ada recovery. Dari April sampai properti normal hanya butuh beberapa saat. Saya melihat akhir 2019 dan awal 2020, properti akan bergerak baik," ujarnya.
Saat ini properti komersial memiliki pasokan yang sangat banyak, sehingga secara kompetisi bertambah kuat. Hal tersebut yang menjadi kendala untuk properti secara umum bisa bergerak. Ia berharap ekonomi cepat mendapatkan kestabilan agar pada properti bisa bergerak lagi.
"Butuh kestabilan di ekonomi kita, kalau ekonomi stabil dalam arti defisit transaksi berjalan (CAD) lebih stabil, pemerintah jadi punya ruang menurunkan suku bunga," katanya.
Tercatat berdasarkan data uang beredar Bank Indonesia (BI) September 2018, laju pertumbuhan penyaluran kredit di sektor properti mengalami perlambatan dari 15,5 persen di Agustus 2018 menjadi 14,5 persen di bulan September 2018.
Sementara itu Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) tercatat memiliki pertumbuhan yang sangat tipis, yakni sebesar 0,2 persen dari 14,3 persen di Agustus 2018 menjadi 14,5 persen di September 2018.
Perbankan saat ini terus berupaya mendorong KPR tetap tumbuh di tengah era suku bunga tinggi. PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) misalnya, menawarkan promo suku bunga tetap 7,25 persen selama dua tahun. Perseroan juga berjanji tidak akan menaikkan suku bunga KPR hingga akhir tahun.
Upaya serupa juga dilakukan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI). Lesunya perngajuan KPR membuat perseroan urung menaikkan suku bunga.