Kamis 22 Nov 2018 14:21 WIB

Kakek Asal Riau Gowes dari Berlin ke Istanbul

Hawa dingin membeku menyergap selama perjalanan melintas batas negara hingga Istanbul

Bersepeda Saat Hujan. Ilustrasi
Foto: Pixabay
Bersepeda Saat Hujan. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Nur Hasan Murtiaji

ISTANBUL -- Anda mungkin terbiasa mengetahui seseorang yang bersepeda puluhan, bahkan ratusan kilometer. Akan tetapi, apakah Anda terbiasa mendengar seseorang mengayuh roda duanya sejauh ribuan kilometer? Akan makin terasa luar biasa manakala yang menggowes ribuan kilometer ini adalah dua kakek berumur 70 dan 62 tahun. Di benua Eropa pula mereka gowes-nya.

Adalah Tri Joko Waskito (70 tahun) dan Tasman Jen (62 tahun) yang dengan penuh semangat menceritakan pengalamannya. Dua kakek pensiunan karyawan PT Caltex Pacific Indonesia yang berkantor di Riau ini bersepeda menempuh jarak 4.000 kilometer, melintasi 10 negara, selama 47 hari. Bagaimana Joko dan Tasman bisa melakukannya?

"Pernah dikejar-kejar anjing, masuk ke perkampungan dan desa-desa, jalan rusak, sarung tangan dicuri burung gagak, ban kempes, hingga kena flu," kata keduanya saat ditemui Republika di kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Istanbul, Turki, Jumat (16/11) petang.

Joko dan Tasman menceritakan awal mula petualangan mereka pada Juli 2018, saat itu bulan Ramadhan. Keduanya memiliki ke inginan mengunjungi Eropa hingga ke pelosok-pelosoknya. Karena sudah terbiasa bersepeda—pernah gowes Riau, Jakarta, Bali— maka bersepeda adalah satu-satunya cara.

"Lalu, kami mengurus visa Schengen di saat tiket pesawat pun belum dapat. Alhamdulillah, dalam waktu tiga hari visa keluar," ujar Joko mengawali kisahnya.

Akhirnya, pada 16 September 2018, mereka terbang ke Berlin, Jerman. Kebetulan, kata Joko, ada tiket promo. Tiket sekali jalan Riau-Singapura-Berlin pun cuma dibanderol Rp 4 juta. Itu pun sudah dengan biaya angkut sepeda. "Sesampai kami mendarat di Bandara Tegel, Berlin, sepeda langsung kami setel ulang. Setengah jam kemudian, kami jalan," kata Joko.

Setelah lapor ke KBRI di Berlin, keduanya berkeliling kota selama dua hari. Pada hari ketiga, dibantu komunitas Warm Shower --komunitas pesepeda global yang saling membantu ketika bersepeda-- dalam hal keperluan logistik dan penginapan.

Baru pada hari keempat, keduanya yang tinggal bert tangga di Riau ini mengayuh sepeda ke Hamburg. Jarak Berlin-Ham burg kurang lebih 300 kilometer mereka jalani. "Ada keponakan saya di sana yang menyambut. Mereka senang saja melihat kami. Cuma mereka menyayangkan mengapa jelang musim dingin kami berangkatnya. Suhu bisa 8 derajat Celsius," kata Joko.

Dan, benar saja. Dalam perjalanan selanjutnya, hawa dingin membeku menyergap mereka selama perjalanan melintas batas negara hingga Istanbul. Keluar dari Hamburg hingga Bremen, hampir setiap sore mereka kehujanan, kecuali ketika memasuki Belanda yang bercuaca cerah terus.

"Dinginnya itu kayak pegang es di tangan. Bener-bener dingin," papar Joko yang kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, ini.

Kalau sudah demikian, mereka segera mencari tempat berteduh, bahkan ketika awan masih mendung. Mereka memilih menepi di rumah warga atau menginap di komunitas Warm Shower yang akan melayani segala keperluan perjalanan mereka secara gratis.

"Kita menginap atau kamping di rumah-rumah warga yang kami temui kalau sudah gelap jelang sore," kata Tasman yang kampung kelahirannya di Bukittinggi, Sumatra Barat, ini. Keduanya mengungkapkan, tidak pernah mengalami tindak kekerasan atau aksi kriminal.

Warga ramah menerima tumpangan mereka. "Kami menanyakan dulu ke pemilik rumah, apakah kami boleh mendirikan tenda karena sudah malam? Kalau diiyakan, mereka biasanya menunjukkan lokasi dari bagian rumah yang boleh didirikan tenda," ujar Tasman.

Lulusan Akademi Ilmu Pelayaran tahun 1974 ini menceritakan, masing-masing mereka membawa tenda. Di tengah tenda keduanya, sepeda mereka ikat, kompor gas mereka hidupkan untuk memanaskan makanan atau minuman. Gas mereka beli sewaktu di Berlin yang masih tersisa hingga mereka sampai di Istanbul.

Menurut Joko, memang tak semua warga yang ditemui mengizinkan mereka mendirikan tenda. "Ada yang yang menolak karena mereka punya anjing atau kuda," kata alumnus Fisika ITB angkatan 1968 ini.

Kalau sudah demikian, mereka mencari tempat lain. Mereka pun tidak membuat kotor atau menyampah saat menginap di taman. Hampir di setiap pemberhentian, keduanya mendapat kesempatan menginap di komunitas Warm Shower.

Saat menginap itulah, mereka mengisi ulang power bank, mencuci pakaian lapangan dan baju ganti, mandi, dan menambah stok makanan. Bekal makanan dari komunitas itu bisa mereka konsumsi, bahkan hingga dua hari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement