Jumat 23 Nov 2018 00:00 WIB

Antara Isu Radikalisme di Masjid dan Ghirah Umat

Di saat ghirah umat sedang tinggi, BIN ungkap survai lawas soal radikalisme.

Reiny Dwinanda, wartawan Republika
Foto: Dokumen pribadi
Reiny Dwinanda, wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Reiny Dwinanda*

Belakangan, isu radikalisme yang disebut tumbuh di masjid terus berembus. Mereka yang mengungkitnya merujuk ke hasil survei Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan pada 2017.

Sebelum Badan Intelijen Negara (BIN) mengutipnya, isu itu sempat menyedot perhatian publik seusai pertemuan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan 42 praktisi sosial, budaya, pendidikan, dan agama di Istana Merdeka, Jakarta, pada 4 Juni lalu. Menurut cendekiawan Muslim Azyumardi Azra yang turut hadir di Istana, informasi tersebut disampaikan oleh Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid.

Menurut Azyumardi, ketika mendengar penuturan Alissa, Presiden menyatakan sebetulnya masalah tersebut sedikit-banyak sudah diatasi. Jokowi telah menugaskan pimpinan dari lembaga sosial keagamaan tertentu untuk melakukan perbaikan di dalam masjid.

P3M pun tak mengerti alasan survei lawas tersebut kembali diungkap ke publik oleh BIN dalam sebuah diskusi di Jakarta pada 17  November. Apalagi, tim P3M hanya melakukan survei selama satu bulan, yakni tiap Jumat selama 29 September hingga 21 Oktober 2017.

Periode tersebut bertepatan dengan enam bulan pascapelaksanaan Pilkada DKI Jakarta atau empat bulan setelah pengadilan menjatuhkan vonis dua tahun penjara untuk kasus penistaan agama oleh mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Ada 35 masjid di kementerian, 28 masjid lembaga negara dan, 37 masjid BUMN di Jakarta yang direkam dan ditelaah isi khutbah shalat Jumatnya oleh P3M. Bahan-bahan bacaan yang ada di masjid tersebut juga dicermati. Akan tetapi, P3M menganggap hasil survei itu belum tentu relevan dengan kondisi masa kini.

Kegaduhan pun tak terelakkan begitu BIN angkat bicara ke muka publik. Terlebih, P3M menjelaskan hasil surveinya bersifat indikatif, bukan konklusi.

Sejumlah tanya pun bermunculan. Pengguna jasa BIN adalah presiden, lalu untuk apa BIN menyampaikannya ke masyarakat umum? Mengapa BIN menggunakan data eksternal dan menyitirnya seolah data itu sudah terverifikasi? Apa motif BIN mengutip survei lawas? Mengapa hanya survei terhadap masjid yang disebut?

Di lain sisi, informasi itu diungkit kembali saat ghirah umat Islam sedang semakin tinggi. Kajian keislaman marak digelar oleh Muslim dari seluruh kelas masyarakat.

Mereka yang haus ilmu agama membanjiri majelis ilmu di sana-sini. Dakwah di media sosial pun semakin semarak. Kaum milenial yang diperebutkan suaranya dalam Pilpres 2019 bahkan tampak antusias menghadiri Festival Hijrah pada dua pekan lalu.

Lalu, apa kemungkinan dampaknya bagi ghirah umat? Informasi yang disampaikan BIN bisa menimbukan stigma terhadap pengurus di masjid kantor kementerian, lembaga negara, dan BUMN. Terlebih, merekalah yang bertanggung jawab mengundang penceramah yang disebut menyebarkan paham intoleransi dan radikalisme.

Sementara itu, BIN mengatakan kabar tentang keberadaan 100 masjid yang pernah menjadi tempat khutbah 50 penceramah penyebar intoleransi dan radikalisme merupakan peringatan dini yang telah ditindaklanjuti dengan pendalaman. Tanpa informasi yang detail, prasangka akan mudah muncul terhadap para pendakwah. Masyarakat akan bertanya-tanya, siapa gerangan ustaz yang dimaksud.

Sebagian orang menganggap BIN menakut-nakuti. Kabar seperti itu berpotensi meredupkan semangat mereka yang tengah getol menyimak syiar agama di sela aktivitas kantorannya. Rasa khawatir dicap radikal dan intoleran dapat membuat orang segan meramaikan majelis taklim perkantoran.

Sebaliknya, gelombang protes pun bisa saja bermunculan jika isu ini berkembang liar. Aduh, semoga energi umat tak terkuras untuk hal-hal yang semestinya bisa diselesaikan oleh pemerintah tanpa harus menimbulkan kebisingan.

BIN seharusnya bekerja dalam senyap. Harus diingat, ada perasaan umat yang harus dijaga. Hal serupa pernah diungkapkan Wapres Jusuf Kalla saat mengomentari Aksi 411 dan 212 pada 2016.

Kalla yang turut shalat Jumat bersama massa mengatakan, jutaan orang tak datang ke Monas semata untuk mendemo Ahok. Ia meyakini ada perasaan kehidupan berkebangsaan yang perlu dipelajari di kalangan umat Islam, dalam hal ini rasa keadilan.

Terlepas dari validitas informasi yang BIN sebutkan, umat tetap harus menjaga ghirah-nya memperdalam ilmu. Mari ingat kembali keutamaan orang yang menuntut ilmu seperti yang diwahyukan Allah SWT dalam Alquran surah Al Mujadilah ayat 11, “…Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…”.

Setiap Muslim juga harus kritis terhadap informasi, apapun itu. Andaikan mendengar seruan yang tak sesuai dengan ajaran Islam, jamaah dapat bertabayun kepada orang yang menyampaikannya, tak terkecuali kepada khatib shalat Jumat.

Ajak saja sang ustaz berdiskusi tentang materi ceramahnya yang terasa janggal. Kalau gelagat negatifnya semakin kuat, kita bisa melaporkannya ke takmir masjid. Autokritik semacam ini niscaya membuat sempit ruang gerak mereka yang salah mengartikan ajaran Islam untuk menyebarkan pahamnya.

*) Penulis adalah redaktur republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement