Kamis 22 Nov 2018 04:15 WIB

ICW: Kasus Korupsi Dana Desa Meningkat

Sejak 2015 hingga semester I 2018, ada 181 kasus korupsi dana desa.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Ratna Puspita
Ilustrasi Korupsi
Foto: Pixabay
Ilustrasi Korupsi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha menuturkan, sejak bergulir pada 2015 lalu hingga 2018 ini, sudah ada Rp 186 triliun dana desa mengalir ke 74.954 desa di seluruh wilayah Indonesia. Dalam perkembangannya, dana desa yang berlimpah tersebut ternyata rawan dari praktik korupsi.

Berdasarkan hasil pemantauan ICW sejak 2015 hingga Semester I 2018, kasus korupsi dana desa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tercatat ada 181 kasus korupsi dana desa dengan 184 tersangka korupsi dan nilai kerugian sebesar Rp 40,6 Miliar.

Baca Juga

"Sebanyak 181 kasus terdiri dari 17 kasus pada 2015, 2016 meningkat menjadi 41 kasus dan 2017 korupsi melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 96 kasus. Sementara pada semester I tahun 2018, terdapat 27 kasus di desa yang semuanya menjadikan anggaran desa sebagai objek korupsi," kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (21/11).

Dari segi pelaku, papar Egi, kepala desa menjadi aktor korupsi terbanyak di desa. Pada 2015, 15 kepala desa menjadi tersangka. Pada 2016, jumlahnya meningkat menjadi 32 kepala desa. 

Pada 2017, jumlahnya meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 65 orang yang tersangkut kasus korupsi. Pada semester I 2018, sebanyak 29 orang kepala desa menjadi tersangka. 

“Total hingga saat ini sedikitnya ada 141 orang kepala desa tersangkut kasus korupsi dana desa," ujar dia.

Egi menjelaskan, selain kepala desa yang menjadi aktor, ICW mengidentifikasi potensi korupsi yang dapat dilakukan oleh beberapa aktor lain. Mereka, yaitu perangkat desa sebanyak sebanyak 41 orang dan dua orang yang berstatus istri kepala desa.

Dalam hal dana desa, permainan anggaran dapat terjadi saat proses perencanaan maupun pencairan. Proses yang rawan tersebut misalnya, dapat terjadi di tingkat kecamatan.

Hal itu dikarenakan camat memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (RAPBDesa), sehingga potensi penyunatan anggaran atau pemerasan dapat terjadi pada tahap tersebut.

"Selain itu, pemerasan anggaran dapat juga dilakukan oleh instansi-instansi lain baik oleh Bupati maupun dinas yang berwenang," tutur Egi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement