Rabu 21 Nov 2018 16:42 WIB

Pengamat: Politik Olok-Olok Mencuat Selama Kampanye

Gejalan politik olok-olok mengindikasikan tumpulnya politisi dalam mencari gagasan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Ratna Puspita
Ilustrasi Kampanye
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Kampanye

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Exposit Strategic Arif Susanto menganggap mencuatnya gejala politik olok-olok sepanjang masa kampanye Pemilu 2019. Menurutnya, gejala politik semacam ini mesti dihilangkan karena tak mengedukasi masyarakat soal visi misi peserta Pemilu.

Arif menyebut gejala politik olok-olok terpantau dari politisi yang memilih perang kata menyasar sisi emosional. Gejala ini, kata dia mengindikasikan tumpulnya politisi dalam mencari gagasan.

"Kita mendapati suatu gejala politik olok-olok yaitu ketika elit politik lebih sering mengeksploitasi emosi massa lewat pernyataan menohok ketimbang mengeksplorasi keunggulan lewat tawaran program kerja yang jelas," katanya dalam diskusi di Jakarta Pusat, Rabu (21/11).

Ia menjelaskan ada beberapa gejala politik olok-olok seperti politisi menyampaikan pesan dangkal dan tidak mengenai pokok masalah. Misalnya, pernyataan Calon Wakil Presiden Nomor Urut 02 Sandiaga tentang tempe setipis ATM.

Kemudian, politisi memberikan kritik tanpa didasari fakta akurat. Misalnya, ia menyebutkan, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan ada 100 juta orang miskin di Indonesia. Padahal, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data kemiskinan di bawah 10 persen.

Ketiga, ia menyebutkan, penyampaian pesan emosional mengarah pada kegeraman dan cenderung mengarah agitasi. Contoh gejala ketiga, yaitu pernyataan Calon Wakil Presiden Nomor Urut 01 Ma'ruf Amin yang menyebut pihak yang masih mengkritik kinerja Presiden Joko Widodo termasuk buta dan budek.

Arif memandang meluasnya gaya politik olok-olok disebabkan sejumlah faktor. Pertama, pasangan calon malah reaksioner dan kurang antisipatif terhadap masalah. 

Kedua, tim kampanye sulit menerjemahkan visi misi menjadi program kerja konkret. Ketiga, belum ada terobosan kampanye cerdas dan inovatif.

"Keempat, politisasi SARA terus menjebak politik nasional dalam kubangan kebencian yang mana ini sudah terjadi sejak dulu," jelasnya.

Di sisi lain, Arif merasa gaya politik olok-olok sulit menuai hasil positif karena masyarakat makin rasional. Buktinya, isu SARA pada Pilkada tak berdampak signifikan walau masih ada.

"Mau menggunakan politik olok-olok untuk pemilih rasional sulit. Begitu pun untuk pemilih emosional yang sudah loyal dengan pilihannya. Saya kira politik olok-olok ini untuk memenuhi hasrat elit politik yang sedang berkompetisi," ungkapnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement