Selasa 20 Nov 2018 20:44 WIB

Kasus Baiq Nuril Jadi Pelajaran untuk Pemprov NTB

Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi menyayangkan putusan kasasi terhadap Baiq Nuril.

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Andri Saubani
Anggota DPD RI Dapil NTB Baiq Diyah Ratu Ganefi (kanan) berkunjung ke ruang Baiq Nuril (tengah) di Perumahan Telagawaru, Labuapi, Lombok Barat, NTB, Rabu (14/11).
Foto: Republika/Muhammad Nursyamsyi
Anggota DPD RI Dapil NTB Baiq Diyah Ratu Ganefi (kanan) berkunjung ke ruang Baiq Nuril (tengah) di Perumahan Telagawaru, Labuapi, Lombok Barat, NTB, Rabu (14/11).

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Barat (NTB) menyatakan keprihatinannya atas kasus yang menimpa Baiq Nuril. Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi menyayangkan putusan yang membuat Nuril terancam hukuman penjara dan juga denda.

"Menyayangkan putusan yang tidak berpihak kepada korban. Ini menunjukkan wajah muram peradilan kita, korban justru menjadi korban," ujar Rohmi dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Selasa (20/11).

Rohmi bersama Gubernur NTB Zulkieflimansyah mengaku akan menjadikan kasus Nuril sebagai pelajaran berharga bagi Pemprov NTB dalam melindungi para perempuan dari pelecehan seksual.

"Kasus Baiq Nuril menjadi catatan kami untuk mengoptimalkan mekanisme pengaduan, perlindungan dan pendampingan secara hukum, moral, maupun materiil bagi korban kekerasan atau pelecehan seksual ke Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Dinas Pendidikan," lanjutnya.

Rohmi juga mengaku akan membangun sebuah sistem atau kanal yang lebih aman bagi korban kasus pelecehan seksual di Provinsi NTB. Selain itu, Pemprov NTB juga akan .emperkuat kemitraan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi, dan media yang relevan dan memiliki perhatian kuat dalam bidang perlindungan perempuan dan anak.

"Hal ini termasuk juga keberadaan pendamping dalam proses edukasi dan sosialisasi yang lebih intensif terkait mekanisme pengaduan, perlindungan dan pendampingan termaksud," kata Rohmi.

Baiq Nuril merupakan mantan staf tata usaha di SMAN 7 Mataram. Kasus pelecehan bermula pada medio 2012. Saat itu, Baiq masih berstatus sebagai pegawai honorer di SMAN 7 Mataram. Satu ketika dia ditelepon oleh M. Perbincangan antara M dan Baiq berlangsung selama kurang lebih 20 menit. Dari 20 menit perbincangan itu, hanya sekitar 5 menitnya yang membicarakan soal pekerjaan. Sisanya, M malah bercerita soal pengalaman seksualnya bersama dengan wanita yang bukan istrinya.

Perbincangan itu pun terus berlanjut dengan nada-nada pelecehan terhadap Baiq. Terlebih M menelepon Baiq lebih dari sekali. Baiq pun merasa terganggu dan merasa dilecehkan oleh M melalui verbal. Tak hanya itu, orang-orang di sekitarnya menuduhnya memiliki hubungan gelap dengan M.

Merasa jengah dengan semua itu, Baiq berinisiatif merekam perbincangannya dengan M. Hal itu dilakukannya guna membuktikan dirinya tak memiliki hubungan dengan atasannya itu. Kendati begitu, Baiq tidak pernah melaporkan rekaman itu karena takut pekerjaannya terancam.

Hanya saja, ia bicara kepada Imam Mudawin, rekan kerja Baiq, soal rekaman itu. Namun, rekaman itu malah disebarkan oleh Imam ke Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Mataram.

Diketahui, penyerahan rekaman percakapnnya dengan M Baiq itu hanya dilakukan dengan memberikan ponsel. Proses pemindahan rekaman dari ponsel ke laptop dan ke tangan-tangan lain sepenuhnya dilakukan oleh Imam.

Merasa tidak terima aibnya didengar oleh banyak orang, M pun melaporkan Baiq ke polisi atas dasar Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Padahal rekaman tersebut disebarkan oleh Imam, namun malah Baiq yang dilaporkan oleh M.

Kasus ini pun berlanjut hingga ke persidangan. Setelah laporan diproses, Pengadilan Negeri Mataram memutuskan Baiq tidak bersalah dan membebaskannya dari status tahanan kota. Kalah dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Singkat cerita pada 26 September 2018 lalu, MA memutus Baiq bersalah.

Petikan Putusan Kasasi dengan Nomor 574K/Pid.Sus/2018 yang baru diterima 9 November 2018 menyatakan Baiq Nuril bersalah melakukan tindak pidana, "Tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan."

Ia kemudian dihukum enam bulan penjara dan dipidana denda senilai Rp 500 juta, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement