Senin 19 Nov 2018 03:19 WIB

Jelang Eksekusi, ICJR Galang Petisi Amnesti untuk Baiq Nuril

Pihak kejaksaan menjadwalkan mengeksekusi Baiq Nuril pada Rabu.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Andri Saubani
Peserta aksi menunjukkan poster dan kotak donasi pada aksi Tolak Eksekusi Baiq Nuril Maknun di Taman Kamabang Iwak Palembang, Minggu (18/11/2018).
Foto: Antara/Feny Selly
Peserta aksi menunjukkan poster dan kotak donasi pada aksi Tolak Eksekusi Baiq Nuril Maknun di Taman Kamabang Iwak Palembang, Minggu (18/11/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Baiq Nuril Makmun, selaku korban pelecehan seksual yang justru dipidanakan dengan UU ITE mengupayakan amnesti kepada Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi). Upaya itu, menurut kuasa hukum Baiq Nuril dikoordinasikan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).

"Untuk isu amnesti, ICJR pun sudah membuat petisi untuk presiden," ujar kuasa hukum Baiq, Aziz Fauzi saat dikonfirmasi, Ahad (18/11).

Azis mengatakan, pihaknya juga mengupayakan untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang menetapkan Baiq Nuril melanggar UU ITE. Namun, terkait rencana pengajuan kembali itu, pihaknya masih menunggu salinan putusan MA.

Menurut Azis, MA belum juga mengeluarkan salinan putusan MA itu. Aziz mengaku belum menerima salinan putusan MA itu hingga Ahad (18/11). "Jadi kami belum bisa mengaksesnya untuk menyusun memori peninjauan kembali (PK)," ujar dia.

Diketahui ICJR telah menyebarkan melalui media sosial dan perpesanan seperti Whatsapp untuk menandatangani petisi yang dibuat melalui situs www.change.org. Direktur eksekutif ICJR Anggara pun menyebarkan petisi tersebut. Petisi ini, kata dia, untuk mendesak Presiden Jokowi memberikan amnesti untuk Nuril.

Sejak diedarkan Ahad sekitar pukul 10.00 WIB hingga pukul 18.00 sudah hampir 30 ribu orang menandatangani petisi itu, dengan target 35 ribu. Pantauan Republika, jumlah penandatangan petisi itu terus bertambah dalam beberapa detik, sehingga diprediksikan petisi tersebut bakal melampaui target.

ICJR sebelumnya menerima infoermasi bahwa jaksa akan mengeksekusi Baiq Nuril dengan memasukannya ke dalam penjara pada Rabu, 21 November 2018. Belum diterimanya salinan putusan kasasi MA Nomor 574K/Pid.Sus/2018 oleh pihak penasihat hukum Baiq Nuril pun dipertanyakan oleh ICJR.

Berdasarkan pasal 270 KUHAP dinyatakan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengrimkan salinan surat putusan kepadanya. "Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat dinyatakan bahwa eksekusi putusan pengadilan baru dapat dilakukan saat sudah diterimanya salinan putusan," kata Anggara.

Jika jaksa tetap melakukan eksekusi tanpa adanya salinan putusan, atau hanya berdasarkan petikan putusan, maka dengan itu tindakan yang dilakukan oleh jaksa merupakan perbuatan melawan hukum karena tidak sesuai dengan ketentuan pasal 270 KUHAP.

Untuk diketahui, kasus dugaan pelecehan dimulai pada pertengahan 2012. Saat itu, Baiq merupakan pegawai honorer di SMAN 7 Mataram. Satu ketika dia ditelepon oleh Kepsek berinisal M. Perbincangan antara M dan Baiq berlangsung selama kurang lebih 20 menit.

Hanya sekitar lima menit obrolan itu soal pekerjaan. Sisanya, M justru bercerita soal pengalaman seksualnya bersama dengan wanita yang bukan istrinya.

Perbincangan itu pun terus berlanjut dengan nada-nada pelecehan terhadap Baiq. M menelepon Baiq lebih dari sekali. Baiq pun merasa terganggu dan merasa dilecehkan oleh M melalui verbal. Tak hanya itu, orang-orang di sekitarnya menuduhnya memiliki hubungan gelap dengan M.

Baiq pun merekam perbincangannya dengan M. Hal itu dilakukannya guna membuktikan dirinya tak memiliki hubungan dengan atasannya itu.  Kendati begitu, Baiq tidak pernah melaporkan rekaman itu karena takut pekerjaannya terancam.

Baiq kemudian bicara kepada Imam Mudawin, rekan kerja Baiq, soal rekaman itu, yang berujung pada tersebarnya rekaman oleh Imam ke Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Mataram. Proses pemindahan rekaman dari ponsel ke laptop dan ke tangan-tangan lain sepenuhnya dilakukan oleh Imam tanpa sepengetahuan Baiq.

Merasa tidak terima aibnya disebar, M melaporkan Baiq ke polisi atas dasar Pasal 27 Ayat (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Kasus ini pun berlanjut hingga ke persidangan.

Pengadilan Negeri Mataram memutuskan Baiq tidak bersalah dan membebaskannya dari status tahanan kota. Kalah dalam persidangan, jaksa penuntut umum mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung, hingga pada 26 September 2018 lalu, MA malah memutus Baiq bersalah.

Petikan Putusan Kasasi dengan Nomor 574K/Pid.Sus/2018 yang baru diterima 9 November 2018 menyatakan Baiq Nuril bersalah melakukan tindak pidana. Ia kemudian dihukum enam bulan penjara dan dipidana denda senilai Rp 500 juta, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.

Jakarta, 18/11 (Antara) - Jaringan relawan kebebasan berekspresi online SAFEnet menolak putusan kasasi Mahkamah Agung yang menyatakan Baiq Nuril Maknun bersalah karena dianggap mendistribusikan rekaman percakapan dengan pimpinannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement