Jumat 16 Nov 2018 07:22 WIB

Ini Terobosan Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Stunting

Dalam UU, anak harus mendapatkan perlindungan fisik dan perkembangan

The Habibie Center menggelar Talkshow Nasional bertajuk “Terobosan Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Stunting Melalui Pemenuhan Gizi Anak” sebagai bagian dari rangkaian perayaan Hari Ulang Tahun ke-19 di Hotel Le Meridien, Jakarta, Kamis (15/11).
Foto: Istimewa
The Habibie Center menggelar Talkshow Nasional bertajuk “Terobosan Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Stunting Melalui Pemenuhan Gizi Anak” sebagai bagian dari rangkaian perayaan Hari Ulang Tahun ke-19 di Hotel Le Meridien, Jakarta, Kamis (15/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- The Habibie Center menyampaikan rekomendasi terobosan kebijakan untuk pencegahan dan penanganan stunting pada anak dengan melakukan revisi Permenkes Nomor 23/2014 dan Permenkes No. 51 Tahun 2016. Poin revisinya adalah Pemberian Nutrisi Khusus (PKMK) jika terdapat indikasi medis, Kemudian memastikan penggunaan nutrisi khusus (PKMK) di fasilitas kesehatan terbaru dan di bawah pengawasan medis, Untuk detail spesifikasi produk nutrisi khusus mengacu pada Peraturan Kepala BPOM Nomor 1/2018 tentang Pangan Olahan untuk Keperluan Gizi Khusus.

Rekomendasi ini disampaikan pada Kamis, 15 November 2018 di Hotel Le Meridien Jakarta dalam sebuah Talkshow Nasional bertajuk “Terobosan Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Stunting Melalui Pemenuhan Gizi Anak” sebagai bagian dari rangkaian perayaan Hari Ulang Tahun ke-19 The Habibie Center.

Mohammad Hasan Ansori, Ph.D. (Direktur Program dan Riset, The Habibie Center) berharap talkshow ini berperan sebagai wadah sinergi antara pemerintah dan masyarakat sipil dalam melindungi hak anak-anak Indonesia untuk mendapatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan terbaik.

"Hal ini sejalan dengan komitmen The Habibie Center untuk meneruskan proses demokratisasi dan penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia," kata Hasan.

Menjawab pertanyaan apakah pemerintah bisa menjamin PKMK sebagai bagian dari upaya mengatasi stunting, Untung Suseno, mantan Sekjen Kemenkes yang kini menjadi Staf Ahli Menkes mengatakan “Seharusnya bisa, dan kami (Kemenkes) sedang mengarah kesana," katanya.

dr. Slamet, MHP (Staf Ahli Menteri Kesehatan, Bidang Teknologi dan Kesehatan dan Globalisasi) menjelaskan, Indonesia adalah negara ke-5 dengan jumlah balita tertinggi yang mengalami stunting di dunia. "Dari data Riskesdas 2018, jumlah stunting turun sekitar 6 persen dibandingkan tahun 2013, propinsi yang paling rendah proporsinya adalah Jakarta, dan yang paling tinggi adalah Nusa Tenggara Timur," kata Slamet.

Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, SpA(K) (Dokter Spesialis Anak Konsultan Nutrisi dan Penyakit Metabolik, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM) menyatakan data hasil Riskesdas 2018 menunjukkan prevalensi balita Indonesia yang mengalami stunting memang mengalami penurunan. Namun angka ini masih berada di high prevalence dan masih jauh di atas batas maksimal 20 persen yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"Perlunya pengertian yang sama mengenai stunting, dimana stunting adalah pendek, namun tidak semua anak pendek adalah stunting. Hal ini disebabkan asupan nutrisi yang kurang atau kebutuhan nutrisi yang meningkat akibat kondisi kesehatan sub-optimal akibat penyakit. Indikator stunting tidak hanya dilihat dari tinggi badan yang pendek, tetapi juga harus dilihat dari grafik pertumbuhannya menurut usia dan jenis kelamin. Harus ada standar cara pengukuran di seluruh daerah. Tidak mudah menentukan anak apakah stunting atau bukan. Anak stunting adalah jika kondisi pendeknya disebabkan oleh nutrisinya yang kurang," kata Damayanti.

Pada akhir pemaparannya, ia memberikan rekomendasi untuk pencegahan dan penanganan stunting adalah penerapan pola pemberian MPASI yang benar-benar melengkapi semua zat gizi yang sudah tidak terpenuhi oleh ASI saja, terutama energi dan protein hewani.

"Dan pemenuhan kebutuhan pangan untuk keperluan medis khusus untuk kondisi penyakit penyebab stunting," tambah dia.

Dr. drg. Widya Leksmanawati Habibie, M.M. (Associate Fellow, The Habibie Center) menyatakan, saat ini di Indonesia sudah banyak memiliki kebijakan mengenai gizi dan anak, tetapi belum secara spesifik menyasar pencegahan stunting. Padahal komitmen politik dalam bentuk sebuah kebijakan yang terintegrasi dari tingkat nasional sampai dengan tingkat desa sangat dibutuhkan untuk menjamin alokasi dana nasional.

"Selain itu, banyak juga program yang belum tepat, seperti biskuit gizi yang sulit dikonsumsi oleh anak-anak," kata Widya.

drg. Juanita P.F., MKM (Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat) menyampaikan tantangan yang selama ini dihadapi di lapangan adalah komitmen pimpinan dalam pencegahan dan penanganan stunting. Kemudian juga bagaimana untuk meningkatkan dukungan dari masyarakat, organisasi sipil, dan lain-lain.

Rita Pranawati, M.A. (Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia) menjelaskan, dalam Undang-Undang Perlindungan Anak sudah tertulis bahwa anak harus mendapatkan perlindungan fisik dan perkembangan. Ke depannya, gizi anak harus dipikirkan secara keseluruhan.

"Harus kembali diingat bahwa dampak stunting ke depan adalah kualitas SDM", tutupnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement