Kamis 15 Nov 2018 14:02 WIB

Boediono Irit Bicara Usai Dimintai Keterangan KPK

Boediono dimintai keterangan oleh KPK dalam penyelidikan kasus korupsi Bank Century.

Wakil Presiden RI periode 2009-2014 Boediono
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Wakil Presiden RI periode 2009-2014 Boediono

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil presiden RI periode 2009-2014 Boediono memilih irit bicara usai dimintai keterangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penyelidikan kasus korupsi Bank Century. Boediono menyerahkan kepada KPK untuk memberikan informasi kepada publik.

"Saya tidak akan berikan statement karena saya percaya bahwa nanti lebih baik KPK yang memberikannya," kata Boediono yang dimintai keterangan sekitar empat jam itu di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Kamis (15/11).

Selanjutnya, mantan Gubernur Bank Indonesia itu langsung menuju mobil yang telah menunggunya di depan lobi gedung KPK dengan pengawalan dari pasukan pengamanan presiden. KPK meminta keterangan Boediono soal fakta-fakta sidang dengan terdakwa mantan deputi Bidang IV Pengelolaan Devisa BI Budi Mulya.

"Tentu masih terkait fakta-fakta yang muncul di sidang atau hal lain yang diperlukan dan relevan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi. Dalam penyelidikan kasus Century itu, KPK pada Selasa (13/11) juga telah meminta keterangan dari Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Miranda Swaray Goeltom dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sebelumnya, KPK tetap akan meneruskan penanganan kasus tindak pidana korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Hal tersebut berdasarkan hasil kajian dan analisis yang telah dilakukan oleh jaksa penuntut umum (JPU), penyidik, dan tim yang ditunjuk pascaputusan hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Effendy Mochtar yang memerintahkan KPK tetap melanjutkan kasus Bank Century.

Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) mempraperadilankan kembali KPK karena amar putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No 24/Pid.Prap/2018/PN.Jkt.Sel menyatakan memerintahkan termohon (KPK) untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century.

Dalam perkara tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, mantan deputi Bidang IV Pengelolaan Devisa BI Budi Mulya telah dijatuhi putusan kasasi pada 8 April 2015, yaitu penjara selama 15 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider delapan bulan kurungan.

Sebelumnya, pengadilan tingkat pertama memutuskan Budi Mulya dipenjara selama 10 tahun ditambah denda Rp 500 juta subsider lima bulan kurungan. Kemudian, putusan banding di Pengadilan Tinggi meningkatkan vonis menjadi 12 tahun ditambah denda Rp 500 juta subsider lima bulan kurungan.

Dalam putusan Budi Mulya disebutkan bahwa Boediono sebagai gubernur Bank Indonesia, Miranda Swaray Goeltom selaku deputi gubernur senior BI, Siti Chalimah Fadjriah, S Budi Rochadi, Harmansyah Hadad, Hartadi Agus Sarwono, dan Ardhayadi Mitroatmodjo masing-masing selaku deputi gubernur BI dan saksi Raden Pardede selaku sekretaris Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) masuk dalam unsur penyertaan bersama-sama melakukan tindak pidana berdasarkan pasal 55 KUHP.

Pasal 55 KUHP artinya orang-orang yang disebut bersama-sama terhadap yang bersangkutan secara hukum bisa dimintai pertanggungjawaban pidana, tapi mantan deputi Bidang V Pengawasan Bank Umum dan Bank Syariah Bank Indonesia Siti Chodijah Fadjriah yang dinilai dapat dimintai pertanggungjawaban pidana sudah meninggal dunia pada 16 Juni 2015.

Majelis Hakim Agung yang terdiri atas Artidjo Alkostar sebagai ketua dan anggota M Askin dan MS Lumme menilai, pemberian persetujuan penetapan pemberian FPJP kepada PT Bank Century oleh Budi Mulya dilakukan dengan iktikad tidak baik yang dilakukan dengan cara melanggar pasal 45 dan penjelasannya UU No 23 tatahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No 3 tahun 2004. Konsekuensi yuridisnya, perbuatan Budi merupakan perbuatan melawan hukum.

Perbuatan tersebut juga menyebabkan kerugian negara sejak penyetoran Penyertaan Modal Sementara (PMS) yang pertama kali pada 24 November 2008 hingga Desember 2013 sejumlah Rp 8,012 triliun.

Jumlah kerugian keuangan negara tersebut yang sangat besar di tengah banyak rakyat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan dan telah mencederai kepercayaan masyarakat terhadap kesungguhan negara dalam membangun demokrasi ekonomi sehingga perlu dijatuhi pidana yang tepat sesuai dengan sifat berbahayanya kejahatan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement