REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membutuhkan dana sekitar Rp 200 triliun untuk mendanai pola induk pemulihan daerah aliran sungai (DAS). Sekjen KLHK, Bambang Hendroyono mengatakan, implementasi pemulihan DAS saat ini ditekankan bukan hanya menanam pohon tetapi juga membangun hutan.
Penekanan ini, lanjutnya, karena didorong oleh keprihatinan bahwa berbagai daerah masih mengalami banyak bencana hidroorologis (banjir, tanah longsor, dan kekeringan) meskipun upaya RHL terus dilakukan.
Direktur Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung (PDASHL) IB Putera Parthama mengatakan bahwa selama periode tahun 2015-2017, Pemerintah telah melakukan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) pada total wilayah seluas 77.032 hektare. Namun kegiatan ini masih sangat kurang dan harus dilakukan langkah koreksi dengan peningkatan secara signifikan kegiatan RHL mengingat total lahan kritis yang ada di Indonesia sudah mencapai 14,01 juta ha.
"Mulai tahun 2019 dilakukan langkah koreksi, yaitu luasan RHL diperluas 10x lipat yaitu menjadi 207.000 ha, dan akan terfokus pada 15 DAS prioritas, 15 danau prioritas, 65 dam/bendungan, dan daerah-daerah rawan bencana. Jadi tidak tersebar merata, seperti tahun-tahun sebelumnya," ujar Putera.
Peningkatan luasan RHL di 2019 ini diharapkan akan berlanjut atau ditingkatkan sesuai pola induk yang sedang disiapkan KLHK untuk periode 2020-2030. Namun Putera juga menekankan bahwa keberhasilan rehabilitasi lahan kritis tidak serta-merta dapat menghilangkan bencana hidroorologis khususnya banjir. Karena beragam dan kompleksnya penyebab banjir, maka solusi permanennya ialah diatasinya semua penyebab banjir secara simultan.
"Hanya rehabilitasi lahan kritis saja, tidak akan mencegah banjir. Banjir akan tetap terjadi meskipun hulu sebuah DAS sudah kembali berhutan, apabila daya tampung sungai berkurang," kata dia.