Ahad 11 Nov 2018 22:07 WIB

Dekan UGM: Petani di Indonesia Layak Disebut Pahlawan

Jumlah lahan maupun petani semakin tergerus zaman.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Andri Saubani
Petani memanen cabai merah di Desa Kertagenah Tengah, Kadur, Pamekasan, Jawa Timur, Selasa (6/11/2018).
Foto: Antara/Saiful Bahri
Petani memanen cabai merah di Desa Kertagenah Tengah, Kadur, Pamekasan, Jawa Timur, Selasa (6/11/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dekan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada (UGM), Ali Agus menilai, petani-petani di Indonesia sangat layak disebut sebagai pahlawan. Ia merasa, sudah bisa selamat menggeluti pertanian kini saja sudah sangat hebat.

"Petani tanaman pangan, padi khususnya, itu sangat luar biasa, mereka sudah mulai tidak untung tapi masih setia," kata Ali saat mengisi kajian publik di Grha Suara Muhammadiyah, Ahad (11/11).

Pertanian dinilai semakin ditinggalkan. Bahkan, setelah kelahiran banyak fakultas pertanian di perguruan-perguruan tinggi Indonesia, masih belum mampu mengembalikan minat masyarakat memiliki karir dunia pertanian.

Indonesia masih menagih mimpinya sendiri swasembada pangan. Terlebih, potensi Indonesia mewujudkan itu sebenarnya sangat besar. Sayangnya, untuk pertanian saja, jumlah lahan maupun petaninya semakin tergerus zaman.

Kondisi itu menjadi ironi mengingat profesi mereka, merupakan penyangga pangan seluruh rakyat Indonesia. Menurut Ali, itu merupakan salah satu efek besarnya 'politik perberasan' Orde Baru.

Ali berpendapat, politik itu membuat sebagian besar masyarakat Indonesia hanya mengenal beras sebagai panganan pokok. Sayangnya, ketergantungan itu tidak terjadi seiring dengan peminat di dunia pertanian.

Salah satu penyebabnya lantaran lahan pertanian dirasa tidak lagi memberikan insentif. Selain itu, ia merasa langkah-langkah politik mengalami salah arah dalam pembangunan pertanian.

"Salah arah pembangunan pertanian, khususnya pangan," ujar Ali.

Bagi Ali, sejak Era Reformasi, agribisnis seolah dijadikan pemerintah sebagai mazhab pertanian di Indonesia. Sayangnya, ia menilai mazhab itu sangat tidak cocok diterapkan di Indonesia.

Pasalnya, agribisnis bisa berhasil diberlakukan jika negara-negara itu miliki lahan yang luas. Selain itu, agribisnis bisa diterapkan optimal jika teknologi mekanisasi benar-benar ada di genggaman.

"Jika begitu baru bisa dilakukan, lihat saja bantuan-bantuan mesin pertanian belakangan ini, tidak banyak bisa digunakan, saya cenderung oposisi ketika agribisnis dijadikan mazhab pembangunan pertanian, saya tidak sependapat," kata Ali.

Ali mengaku lebih setuju dengan penerapan agrikultur. Artinya, ada interaksi antara orang, wilayah, lingkungan dan kebiasaan yang berlaku. Di Kabupaten Gunungkidul misalnya, jika banyak ketela yang dikembangkan seharusnya ketela.

Tetapi, lanjut Ali, pengembangan tidak cuma dilakukan dalam produksinya. Sebab, pengembangan bisa dilaksanakan dengan mengombinasikannya dengan kacang-kacang, atau lauk-laukan pendampingnya ketika dimakan seperti gereh atau ikan asin.

"Ini yang saya sebutkan sebagai lima spirit Jihad Kedaulatan Pangan, mulai agroproduksi, agroteknologi, agribisnis, agroindustri dan agrowisata, wisata jangan lupa sebab kuliner itu jadi wisata," ujar Ali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement