Jumat 09 Nov 2018 22:02 WIB

Kampanye Pilpres Masih Dipenuhi Perdebatan tak Substantif

Gaya komunikasi politik saat ini akibat polarisasi dua kubu pasangan capres-cawapres.

Rep: Fauziah Mursid, Bayu Adji P/ Red: Andri Saubani
Pasangan Capres-Cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (kedua kiri)-Maaruf Amin (kiri) dan nomor urut 02 Prabowo Subianto (ketiga kiri)- Sandiaga Uno (kanan) berbincang saat menghadiri Deklarasi Kampanye Damai dan Berintegritas di kawasan Monas, Jakarta, Ahad (23/9).
Foto: Antara/Muhammad Adimadja
Pasangan Capres-Cawapres nomor urut 01 Joko Widodo (kedua kiri)-Maaruf Amin (kiri) dan nomor urut 02 Prabowo Subianto (ketiga kiri)- Sandiaga Uno (kanan) berbincang saat menghadiri Deklarasi Kampanye Damai dan Berintegritas di kawasan Monas, Jakarta, Ahad (23/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Satu bulan setengah sejak masa kampanye dimulai pada 23 Oktober 2018 lalu, tak banyak adu argumentasi terkait gagasan substantif yang disuguhkan kedua pasangan calon presiden-wakil presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Masyarakat justru lebih banyak disuguhkan adu kritik pernyataan tak terkait substantif visi, misi maupun program dari kedua pasangan calon.

Ruang publik sejauh ini disajikan oleh istilah dan jargon seperti 'Indonesia bubar 2030', '99 persen rakyat hidup pas-pasan', 'tampang Boyolali', 'tempe setipis ATM', atau 'chicken rice Singapura' dari kubu pasangan nomor 02. Tak mau kalah dari penatang, kubu pejawat, Joko Widodo juga melempar istilah yang berujung kontrovesi, mulai dari 'politikus sontoloyo', dan terbaru yakni, 'politik genderuwo'.

Pengamat komunikasi politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Kuskridho Ambardi menilai gaya komunikasi yang ditampilkan kedua pasangan calon dan tim suksesnya sebagian dibentuk oleh situasi yang terpolarisasi atau terbagi dalam dua bagian. Khususnya, terbelahnya di tingkat para pendukung yang saling tak menyukai satu sama lain.

"Gaya berkomunikasi para capres-cawapres dan timsesnya sebagian dibentuk oleh situasi yang terpolar. Terutama di tingkat para pendukungnya yang saling tak menyukai satu sama lain. Hasilnya, seringkali mereka saling ejek, bukan saling berdebat beradu argumen," ujar Kuskridho ketika dihubungi wartawan, Jumat (9/11).

Menurutnya, situasi yang sudah terlihat terbagi tersebut kemudian direspons oleh kedua tim pasangan maupun pasangan itu sendiri. Akibatnya, pembagian tersebut makin nampak dengan istilah-istilah yang dilontarkan oleh masing-masing kubu.

"Situasi tersebut yang kadang direspons oleh para kandidat dan juru bicara masing-masing dan sejumlah istilah yang keras dengan muatan emosi kadang muncul," ujar Kuskrido.

Ia menilai situasi tersebut, sebenarnya telah nampak sejak Pemilu era Susilo Bambang Yudhoyono, namun masih lebih terkendali. Lebih lanjut, Kuskrido menilai jika gaya komunikasi tersebut diteruskan oleh kedua pasangan beserta tim suksesnya, maka masyarakatlah yang paling dirugikan.

Menurut Kuskrido, istilah-istilah tersebut dianggap lebih menarik oleh media konvensional dan media sosial untuk diangkat ke permukaan. Sementara, fokus terhadap gagasan program dan arah kebijakan kebijakan menjadi luput dari perhatian.

"Kita semua yang rugi pada akhirnya. Sebab, media konvensional dan terutama media sosial menjadi gelanggang ekspresi yang sangat bebas dan etiket sering hilang. Sementara, fokus media dan media sosial bukan pada gagasan-gagasan kebijakan," kata dia.

Meskipun, kata dia, gaya tersebut dianggap lebih efektif untuk menarik perhatian masyarakat. Namun menurutnya, tak berarti efektif untuk sebuah debat kebijakan yang bisa memberikan arah kemana indonesia lima tahun ke depan.

"Dan belum tentu efektif untuk mendapatkan dukungan suara. Sebagian pemilih malah menjadi mengambang," ungkapnya.

Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio justru menitikberatkan gaya komunikasi pejawat yakni Jokowi yang dinilai saat ini keluar dari pakemnya selama ini, yaitu menyerang lawan. Berbeda dengan Prabowo-Sandiaga, yang ia nilai wajar sebagai penantang dari kubu pejawat.

"Memang sebagai petahana komunikasi politik yang dilakukan Jokowi tidak lazim ya, bila mengacu pada teori fungsi kampanye, seharusnya jokowi acclaim, mempromosikan diri atau minimal defense, bertahan bukan ikut attack atau menyerang,' ujar Hendri saat dihubungi wartawan, Jumat (9/11).

Ia pun memprediksi kondisi tersebut terjadi karena beberapa hal, pertama yakni tim Jokowi terpengaruh dengan buzzer atau kelompok tertentu, yang sengaja membuat propaganda terhadap produk politik maupun pembisiknya sehingga terpancing keluar. Kedua, ia menilai tim sukses paslon nomor urut 01 itu tengah memaksakan diri keluar dari pakemnya selama ini.

"Karena percaya bahwa pertahanan terbaik adalah menyerang, ketiga, atau memang aslinya gaya komunikasi politik Jokowi yang agresif sehingga memang inginnya muncul di permukaan," ujar Hendri.

Baca juga

Saran untuk KPU dan Bawaslu

Direktur Eksekutif Populi Center Usep S Ahyar menilai, tim sukses (timses) pasangan capres-cawapres saat ini terlalu disibukkan dengan diskusi insubtansial. Ia menilai, timses seperti kehabisan ide untuk mengadu gagasan mengenai pasangan yang mereka usung.

"Seolah keduanya itu kok buntu pada gagasan yang sifatnya lebih membangun dan konsumtif. Kok yang dipakai dan muncul ke permukaan, bukan perdebatan soal program dan gagasan yang bisa dipakai oleh semua orang," kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (4/11).

Usep mengimbau kepada timses masing-masing pasangan agar lebih fokus pada isu subtansial, tidak hanya sekadar yang di permukaan. Dalam konteks yang lebih besar lagi, kata dia, masih ada program untuk kemajuan bangsa yang harus dijelaskan kepada publik.

Menurut dia, mengemukanya isu mengenai 'tampang Boyolali' di media saat ini tak lepas dari peran timses masing-masing pasangan. Padahal, isu itu tak secara langsung berkaitkan dengan hajat hidup orang banyak.

"Ini kan bukan sekali saja hal remeh dipersoalkan. Malah lebih jauh dipersoalkan daripada hal-hal yang bisa mereka lakukan untuk kemajuan bangsa ke depan," kata dia.

Ia mengatakan, hal itu harus menjadi perhatian bagi penyelenggara pemilu ke depannya. Mengingat, waktu kampanye saat ini sangatlah panjang.

Bukan hanya waktu kampanye, menurut dia, penegakan sanksi oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) harus dilakukan dengan tegas, terutama mengenai kampanye hitam dan hoaks.

Selain itu, Usep menyarankan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan perbaikan fase kampanye. Menurut dia, ke depan dimungkinan ditentukan tema menyangkut subtansi dalam berkampanye, seperti di debat pasangan.

"Kan harus lebih jelas. Sekarang kan masyarakat lebih ngeh kepada gosipnya daripada visi dan misi calon," ujar dia.

Terakhir, ia menambahkan, pengaturan media kampanye perlu dipertegas. Ia menilai, saat ini aturan kampamye belum secara detail pengatuan penggunaan media sosial. Dengan begitu, isu yang berkembang di masyarakat tidak liar seperti saat ini.

JokoTalk: Isu Agama tidak Relevan di Pilpres 2019

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement