Kamis 08 Nov 2018 05:52 WIB

Pengamat Sarankan GP Ansor Hindari Politik Praktis

Gerakan Pemuda (GP) Ansor adalah milik Indonesia, bukan milik Jokowi atau Prabowo.

Ilustrasi Banser
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Banser

REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Firdaus Muhammad, menyarankan organisasi Gerakan Pemuda (GP) Ansor bisa menghindari politik praktis dan pragmatis jelang Pemilihan Umum. Perjuangan Ansor sudah jauh terbukti sejak Indonesia belum merdeka.

"GP Ansor harus menghindarkan diri apalagi ikur politik praktis dan Pramatis. Sebab, Ansor ini memiliki sikap yang utuh dalam posisi politik," tegas Firdaus saat dialog publik digelar PC GP Ancor Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (7/11).

Dosen Sospol UIN Alauddin Makassar ini berpendapat, kalau boleh jangan pilihan politik ke luar, ini ditekankan agar lebih mudah diterima orang lain. Kendati demikian kata akademisi ini, tidak menutup ruang bagi kader Ansor untuk memiliki pilihan politik. 

Sebab, secara individu kader-kader Ansor Banser tetap memiliki hak pilihan politiknya untuk memilih pilihannya. "Banser adalah milik Indonesia, bukan milik pak Jokowi atau Prabowo. Bukan milik Partai ini atau partai itu, Saya kira harus jelas sikap (GP Ansor) seperti itu," harap Firdaus.

Dialog bertajuk '2019 Ansor Mengawal Demokrasi, Menjaga Pilpres dan Pileg Aman dan Damai' di Warkop Bundu, Jalan Letjen Hertasning, juga menghadirkan Ketua GP Ansor Makassar Muhammad Harun, dan Sekretaris KNPI Makassar Antariksa Putra W dipandu Seryadi. Pada kesempatan itu, Harun menyatakan, kontestasi politik tidak boleh dilihat dari perspektif kalah dan menang.

Ia menambahkan proses demokrasi harus dilihat berjalan sesuai jalurnya, bukan malah melawan arus. "Di politik itu, lanjut dia, berbicara tentang strategi, bila kita melihat politik hanya pada poin ada pada menang maupun kalah tentu ini menjadi masalah tersendiri dalam dunia demokrasi.

"Bila itu terjadi dampak yang muncul adalah rasa arogansi pribadi. Ini membuat tokoh politik yang kalah akan merasa jatuh dan memunculkan sejumlah permasalahan lainnya," ungkap Harun.

Pada dasarnya lanjut dia, pascakontestasi politik seharusnya yang dilihat bagaimana menjadi posisi tokoh atau lawan politik sebagai mitra strategis bagi pemenang bukan menjadi lawan hingga memunculkan benih perselisihan yang sebenarnya memang tidak ada. "Akhir kontestasi mestinya harus menjadi mitra strategis dalam memberikan kontribusi bagi daerah atau negara. Baik itu di Pemilihan Legistarif serta Pemilihan Presiden 2019 nanti," ucap dia menyarankan. ileg maupun Pilpres," tutur Harun. 

Antariksa Putra mengemukakan dirinya lebih melihat pada perspektif pemuda dalam kontestasi politik 2019. Putra menggambarkan bagaimana gerakan heroisme pemuda dalam menentukan nasib bangsa pada momen Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 silam yang semestinya terus digelorakan sampai saat ini.

"Ini seharusnya menjadi pijakan kuat posisi pemuda maupun pemudi dalam menentukan nasib bangsa. Posisi pemuda kini sangat strategis. Sebab, nalar pengetahuan pemuda masih terjaga dari berbagai kepentingan dan masih cenderung idealis," tambahnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement