REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mengagendakan pemeriksaan terhadap Nurhadi sebagai saksi untuk tersangka kasus suap terkait dengan pengajuan peninjauan kembali (PK) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Eddy Sindoro (ESI). Sedianya, mantan sekretaris Mahmakah Agung (MA) itu diperiksa sebagai saksi untuk mantan petinggi Lippo Group pada Senin (29/10) pekan lalu.
"Hari ini diagendakan pemeriksaan terhadap Nurhadi sebagai saksi untuk tersangka ESI," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah dalam pesan singkatnya, Selasa (6/10).
Febri menuturkan, penyidik telah mengirimkan panggilan pemeriksaan ke alamat Nurhadi di Mojokerto dan kantor Tin Zuraida di Kementerian PANRB. Karena pada sebelumnya surat panggilan pertama yang dikirimlan ke alamat lama rumah Nurhadi kembali ke KPK.
KPK pun sebenarnya pada Jumat (2/11) memanggil istri Nurhadi, Tin Zuraida sebagai saksi untuk tersangka Eddy Sindoro. Namun, Tin Zuraida yang saat ini menjabat Staf Ahli Bidang Politik dan Hukum Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi itu tidak memenuhi panggilan KPK karena sedang melaksanakan tugas perjalanan dinas di luar negeri sejak Sabtu (3/11) hingga Rabu (7/11) besok.
"Sehingga ada permintaan penjadwalan ulang setelah itu. Kami sambut baik bantuan yang diberikan oleh Kementerian PANRB tersebut setelah KPK menyampaikan pada hari Jumat lalu bahwa KPK akan berkoordinasi terkait pemanggilan salah satu pegawai Kementerian PANRB tersebut," tambah Febri.
Sebelumnya, tersangka Eddy Sindoro telah menyerahkan diri ke KPK pada hari Jumat (12/10) setelah April 2016 sudah tidak berada di Indonesia. KPK sudah menetapkan Eddy Sindoro sebagai tersangka sejak November 2016.
Eddy diduga memberikan hadiah atau janji kepada penyelenggara negara terkait dengan pengurusan perkara di Pengadilan Jakarta Pusat (PN Jakpus) terkait dengan permohonan bantuan pengajuan Peninjauan Kemabali di PN Jakpus.
Atas perbuatannya tersebut, Eddy Sindoro disangkakan Pasal 5 Ayat (1) Huruf a atau Pasal 5 Ayat 1 Huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 juncto Pasal 64 KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta. Sudah ada dua orang yang menjalani vonis terkait dengan perkara ini, yaitu panitera panitera sekretaris PN Jakpus Eddy Nasution dan perantara suap Dody Arianto Supeno.
Doddy sudah divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider 3 bulan kurungan, sedangkan Edy Nasution sudah divonis 5,5 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider 2 bulan kurungan. Dalam putusan Edy Nasution disebutkan bahwa uang 50 ribu dolar AS untuk pengurusan peninjauan kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL) yang diputus pailit oleh Mahkamah Agung melawan PT First Media.
Edy pun menerima uang dari salah satu kuasa hukum yang baru dari Law Firm Cakra & Co yaitu Austriadhy 50.000 dolar AS yang terbungkus dalam amplop warna cokelat. Eddy Sindoro pernah bertemu dengan mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi menanyakan kenapa berkas perkara belum dikirimkan dan Nurhadi sempat menelepon Edy Nasution untuk mempercepat pengiriman berkas perkara PK. Namun, Nurhadi mengatakan itu dalam rangka pengawasan.
Edy Nasution juga mengakui bahwa menerima 50.000 AS dari Dody. Uang tersebut ada kaitannya dengan pengurusan dengan perkara Lippo. Dalam perkembangan penanganan perkara tesebut, KPK juga telah menetapkan advokat Lucas (LCS) sebagai tersangka merintangi penyidikan dengan tersangka Eddy Sindoro.