Selasa 06 Nov 2018 08:32 WIB

Saat Saling Lapor Jadi Tren Politik

Kedewasaan berdemokrasi dipertanyakan jika saling lapor marak.

Demokrasi (Ilustrasi)
Foto: eiu.com
Demokrasi (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID

Oleh: Febrianto A Saputro, Ali Mansur

Saling melaporkan pihak lawan selama masa pemilihan presiden (pilpres) 2019 semakin marak. Kesalahan sedikit atau candaan bisa berbuntut pelaporan ke aparat kepolisian. Menurut pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakkir, itu adalah dampak dari tidak adanya sistem penyaringan perkara di kepolisian.

Ia mengatakan, aparat kepolisian dapat memosisikan diri sebagai lembaga penyaring perkara atau diskresi. Artinya, keputusan untuk menyelesaikan suatu perkara dapat dilakukan di luar sidang.

"Penyaringan perkara itu begini, kalau isu atau perbuatan itu sudah memenuhi unsur-unsur delik, masih harus bertanya lagi, pantas tidak laporan itu dibawa ke pengadilan, ini namanya penyaringan perkara," ujar Mudzakkir, Senin (5/11).

Mudzakkir menambahkan, polisi juga harus mempertimbangkan unsur bobot nilai kerugian dalam sebuah perkara serta risiko positif dan negatif sebelum memasukkan sebuah laporan ke dalam proses hukum.

"Apakah cukup diselesaikan secara damai di luar sidang dan sebagainya," ujarnya.

Tidak adanya proses penyaringan ini membuat banyak pihak saling lapor ke polisi atas tuduhan ujaran kebencian atau penghinaan, terlebih untuk pendukung dua pasangan calon presiden dan wakil presiden 2019. Mudzakkir menilai, dalam kondisi seperti saat ini, polisi ibarat seperti mesin fotokopi yang memproses semua laporan yang masuk, tanpa menyaringnya terlebih dahulu.

Bagi dua kubu yang berkontestasi di pilpres 2019, hal ini dimanfaatkan untuk menyerang atau menjatuhkan pihak lawan. Dua kubu dinilai tidak melihat soal kebenaran atau ada dan tidaknya unsur pelanggaran hukum atas pelaporan tersebut.

"Menurut saya, tidak adil kalau seperti ini, bukan tidak mungkin ke depannya akan semakin banyak lagi (laporan ujaran kebencian maupun penghinaan)," ujar Mudzakkir.

Mudzakkir juga menambahkan, ujaran kebencian maupun penghinaan adalah delik aduan. Dalam delik aduan, penyelesaian yang diutamakan adalah di luar sidang.

Oleh karena itu, perlu diperhatikan apakah pelapor menjadi korban dan mengalami kerugian secara langsung atau tidak. "Jadi, kalau pelapor tidak punya legal standing (kedudukan hukum), jangan diterima," ujarnya.

Mudzakkir menyarankan, kepolisian perlu membentuk sebuah lembaga mediasi informal kepidanaan. Tujuannya untuk melakukan penyaringan perkara melalui mediasi antara pelapor dan terlapor.

Peneliti digital sosial dari Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati, menilai ada tiga hal penting yang perlu dilakukan di era digital agar masing-masing pihak tidak masuk dalam perangkap pelaporan ke polisi. Pertama, perlu pendidikan mengenai literasi media digital sehingga masyarakat dapat memahami dengan baik penggunaan media digital.

"Kedua, perlu ada pendidikan tentang etika dan moralitas di dunia digital," ujar Devie, Senin (5/11).

Ketiga, perlu adanya penegakan hukum yang adil. Devie menegaskan, ini sangat penting karena ketidakadilan dalam penegakan hukum dapat menyebabkan orang terus melontarkan ujaran kebencian dan penghinaan karena wibawa hukum telah jatuh begitu aparat tidak mau menegakkan aturan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement