REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang ibu paruh baya datang ke Rumah Sakit Polri Sukanto Kramat Jati Jakarta Timur dengan tangis terisak dan membawa foto ukuran besar. Kedatangannya itu terkait dengan insiden jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 tujuan Jakarta-Pangkal Pinang, Bangka Belitung di perairan Karawang, Jawa Barat pada Senin (29/9).
Ibu itu bernama Nuke Sari Dewi. Dia datang pada hari kedua penanganan kejadian itu. Dengan langkah bergegas didampingi beberapa kerabat, ia menuju posko antemortem Gedung DVI (Disaster Victim Identification) untuk melaporkan anaknya, Puspita Eka Putri (24) yang menjadi salah seorang penumpang pesawat nahas tersebut. Seorang teman dekat Putri, ikut mendampingi Nuke datang ke tempat itu.
Nuke tidak hanya datang dengan foto cetak besar Putri. Ia membawa sejumlah barang yang diyakini merupakan barang terakhir dipakai Putri sebelum pergi ke Pangkal Pinang. "Tadi yang mama serahin ada sisir dan baju yang pernah dia pakai, sama sikat gigi karena itu yang paling gampang untuk identifikasi," ujar Nuke.
Hal tersebut tak lain sesuai instruksi dari Pihak RS Polri Sukanto Kramat Jati kepada keluarga korban untuk membawa barang yang diperlukan guna melengkapi data antemortem, sehingga mempercepat proses identifikasi.
Barang-barang tersebut segala dokumen yang memiliki sidik jari, seperti ijazah dan sertifikat, sikat gigi, sisir, maupun barang lainnya yang menempel pada kulit untuk pemeriksaan uji DNA (Deoxyribo Nucleic Acid).
Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri memeriksa jenazah korban jatuhnya pesawat Lion Air bernomor registrasi PK-LQP dengan nomor penerbangan JT 610 yang baru tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (1/11/2018).
Khusus untuk pemeriksaan DNA, Nuke memaparkan dirinya sempat diambil sampel DNA-nya oleh petugas DVI di posko antemortem karena petugas membutuhkan DNA dari keluarga terdekat. "Dari mulut tadi ya dikorek," jelas dia.
Data antemortem yang tak kalah pentingnya berupa rekam medis gigi untuk mengetahui posisi gigi sebelum dan sesudah orang meninggal untuk mempercepat proses identifikasi.
Namun, saat itu Nuke mengaku tidak dapat membawa cetakan gigi anaknya yang dikatakan sempat menggunakan behel gigi untuk dapat menjadi petunjuk. Ia mengaku hanya dapat menunjukkan foto anaknya yang tercetak besar sedang tersenyum. "Sayangku....anakku....mudah-mudahan bisa diidentifikasi lebih cepat ya," ujar dia sambil menciumi foto anaknya.
Tak hanya Nuke, ratusan keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 hingga kini masih menunggu kepastian hasil identifikasi dari Tim DVI Polri. Namun, untuk mengidentifikasi deteksi bagian tubuh korban yang ditemukan oleh personel Badan SAR Nasional prosesnya tidak mudah dan cukup memakan waktu.
Membuka "Dapur"
Setelah beberapa hari proses identifikasi para korban nampak begitu tertutup untuk semua kalangan, akhirnya pada Jumat (2/11) Tim DVI RS Polri Sukanto Kramatjati mengajak untuk membuka "dapur" proses identifikasi para korban.
Secara garis besar proses bermula dari pemeriksaan di posko antemortem. Keluarga korban membawa beberapa barang yang akan menjadi data primer, seperti sidik jari, gigi, dan DNA, sedangkan data sekunder berupa rekam medis dan properti yang digunakan terakhir kali oleh korban.
Tim DVI dalam proses tersebut akan mencatat data laporan keluarga korban, mewawancarai pihak keluarga untuk melengkapi keterangan laporan identitas, serta pemberkasan dalam map dengan warna yang berbeda-beda sesuai laporan.
Selanjutnya, di posko posmortem yang bekerja di ruang autopsi, Tim DVI yang bertugas menerima bagian tubuh dan memeriksa kondisinya. Tim mengamati dan membuat catatan, serta mengambil sampel sidik jari, DNA, dan sebagainya untuk kemudian proses rekonsiliasi dengan data antemortem.
Kepala Ontologi Kepolisian Mabes Polri Kombes Pol drg Agustinus membeberkan tim yang dibawahinya mengutamakan pemeriksaan gigi. Sebab catatan gigi memiliki kekhasan antara satu dibanding dua miliar. Hampir menyerupai kekhasan sidik jari.
Tim yang dibawahinya bertugas membandingkan kondisi gigi korban semasa hidup dan setelah meninggal. Namun, untuk kasus korban Lion Air JT 610, timnya lebih banyak bekerja untuk mengumpulkan data antemortem, khususnya pada dokter gigi yang pernah merawat korban.
"Kami lebih sibuk di antemortem karena temuan gigi di antemortem hampir tidak ada, hanya temuan satu buah gigi yang kondisinya fraktur atau pecah sehingga kami antisipasi dengan mencari dokter gigi untuk mendapatkan data lengkap termasuk rontgen-nya," ujar dia.
Dari catatan tersebut, tim di bawah Agustinus masih harus menerjemahkan riwayat perawatan dokter gigi korban dengan odontogram berupa simbol dan kode yang ditrasfer dalam bentuk gambar.
Bila catatan itu sama sekali tidak ada, yang dapat membantu adalah foto dalam kondisi tersenyum dengan tampak barisan gigi. Meski menurut Agustinus tidak terlalu akurat, foto senyum dapat membantu membandingkan data antemortem dan posmortem gigi korban.
Di tim posmortem, dr Adang Azhar sebagai spesialis patologi forensik Mabes Polri memaparkan bahwa timnya bertugas mulai dari penerimaan kantong jenazah hingga pemakaman korban.
Pemeriksaan terhadap korban dilakukan secara menyeluruh, mulai data tubuh, pakaian, barang yang dipakai, bahkan kotoran yang bisa dijadikan sebagai petunjuk medis. Proses itu dilakukan di atas meja autopsi.
Sayangnya, karena banyak dari korban hanya ditemukan bagian tubuh, pihak forensik harus bekerja lebih keras dengan mencari ciri-ciri khusus, seperti tahi lalat, tato, dan sidik jari bila ditemukan. "Kalau masih ada jarinya kita beritahukan kepada Tim Inafis, dan dari bagian yang tersisa kita ambil jaringannya yang masih bagus untuk pemeriksaan DNA kemudian pelabelan," ujar dia.
Selanjutnya, proses pemeriksaan DNA yang memakan waktu cukup lama. Setelah pengumpulan sampel DNA dari beberapa barang yang dibawa keluarga korban dan sampel pembanding dari keluarga yang memiliki hubungan segaris, Tim DVI kembali mencocokkan dengan sampel DNA korban.
Barang-barang korban, seperti sikat gigi dan baju yang belum dicuci memiliki nilai identifikasi tinggi, sebab bersentuhan langsung dengan kulit sehingga sel-sel kulit yang menempel bisa diambil. "Sekecil apapun bagian tubuh akan dianggap sebagai satu tubuh untuk pemeriksaan," ujar Kepala Laboratoriun DNA Pusat Kedokteran dan Kesehatan Mabes Polri Kombes Pol Putut Tjahjo Widodo.
Ia menyebut pemeriksaan DNA hingga keluar hasilnya paling cepat selama empat hari atau paling lama delapan hari. Namun, empat sampai delapan hari yang dimaksud adalah perhitungan hari masuk laboratorium. "Jadi kalau hari ini saya terima sampel dari kantong jenazah terakhir itu belum sampai laboratorium," ungkapnya.
Setelah sampel DNA berhasil terkumpul, akan dibawa ke Laboratorium dan Klinik Odontologi Kepolisian di Cipinang, Jakarta Timur untuk diteliti kembali hingga proses rekonsiliasi.
Memastikan
Tim DVI telah memastikan hasil pemeriksaan 24 kantong jenazah gelombang pertama korban kecelakaan pesawat itu melalui uji DNA yang datang pada Senin (29/10), akan keluar pada Ahad (4/11) setelah pemeriksaan tahap akhir selesai. "Sabtu malam bisa diharapkan selesai pemeriksaannya. Minggu pagi atau siang bisa kita umumkan hasilnya," ujar Kombes Putut di Jakarta, Sabtu (3/11).
Ia melanjutkan bahwa dari hasil pemeriksaan DNA tersebut, proses rekonsiliasi dapat dilanjutkan.
Tentunya bagi 182 keluarga korban lainnya yang masih belum menemukan kepastian anggota keluarganya, termasuk Nuke, hal tersebut dapat menjadi setitik harapan cerah dan mukjizat besar sampai bisa menghantarkan korban ke peristirahatan terakhirnya. Hingga Ahad ini, baru 14 jenazah yang bisa diidentifikasi.