REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Insiden jatuhnya pesawat Lion Air bernomor registrasi PK-LQP dengan nomor penerbangan JT 610 rute Jakarta-Pangkalpinang pada Senin (29/10) menjadi sasaran hoaks di media sosial (medsos). Sejak kecelakaan itu terjadi, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho sudah melakukan klarifikasi terhadap empat hoaks.
Hoaks pertama yang muncul, yakni video penumpang pesawat terbang mengucapkan takbir. Video itu diklaim sebagai video pesawat Lion AIR JT 610. Sutopo menyatakan video tersebut merupakan video penumpang pesawat Lion AIR 353 Padang-Jakarta yang mengalami turbulensi dan semua penumpang selamat beberapa waktu lalu.
Hoaks kedua yang dibantah oleh Sutopo, yakni dua foto penumpang mengenakan masker di dalam pesawat. Sutopo menyatakan foto tersebut bukan penumpang pesawat Lion Air JT 610, melainkan pesawat Sriwijaya saat turbulensi beberapa waktu lalu. Semua penumpang dan pesawat selamat.
Hoaks ketiga, yakni beredar foto bangkai pesawat Lion Air JT-904 yang mengalami musibah di Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai, Bali, pada 13 April 2013. Namun, foto itu beredar dengan menyebutkan sebagai pesawat Lion Air JT-610.
Hoaks ketiga, yakni unggahan foto bayi yang sedang menangis. Sutopo menyatakan bayi itu bukan bayi penumpang pesawat JT-610 yang selamat, melainkan bayi ini adalah bayi yang selamat dari tenggelamnya kapal KM Lestari Maju, di Perairan Selayar, pada 3 Juli 2018.
Video ini BUKAN penumpang pesawat Lion Air JT 610. Tetapi ini penumpang pesawat Lion Air JT 353 Padang-Jakarta yang turbulensi dan semua penumpang selamat beberapa waktu yang lalu. Tidak ada video/foto kondisi penumpang sebelum JT 610 jatuh. Jangan ikut menyebarkan hoax. pic.twitter.com/VbGYaBlVop
— Sutopo Purwo Nugroho (@Sutopo_PN) October 29, 2018
Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mendata ada dua hoaks terkait insiden Lion Air. Pelaksana tugas Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Kominfo Ferdinandus Setu mengatakan, tersebar video yang berisi transkrip rekaman pilot dan co-pilot dengan judul “KASIHAN...!!! Transkrip Rekaman Pilot dan Co-Pilot ''Black Box'' Detik-detik Kecelakaan Pesawat”.
Kominfo membantah video itu merupakan rekaman percakapan yang berasal dari pesawat Lion Air bernomor registrasi PK-LQP dengan nomor penerbangan JT 610 pada 29 Oktober 2018. Ferdinandus menjelaskan, video tersebut sama sekali tidak terkait dengan peristiwa jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 rute Jakarta-Pangkalpinang pada 29 Oktober 2018.
Faktanya, video tersebut merupakan rekaman black box Pesawat Air Asia pada tanggal 9 Januari 2015. Ferdinandus mengatakan, jika konten tersebut dilihat dari Youtube langsung, tidak bisa dikatakan hoaks karena tidak ada disinformasi dan tidak ada unsur menyesatkan.
“Akan tetapi, apabila disebarkan ulang ke medsos dengan deskripsi atau dihubungkan dengan kejadian kecelakaan pesawat Lion Air, baru akan menjadi konten hoaks," kata dia.
Ia menambahkan, ada juga hoaks mengenai rekaman black box saat jatuhnya pesawat Lion Air bernomor registrasi PK-LQP dengan nomor penerbangan JT 610 pada 29 Oktober 2018. Menurut dia, rekaman tersebut sama sekali tidak terkait dengan peristiwa jatuhnya pesawat Lion Air rute Jakarta-Pangkalpinang pada tanggal 29 Oktober 2018.
"Faktanya, rekaman black box yang benar adalah rekaman dari black box pesawat Adam Air Flight 574 rute penerbangan Surabaya-Manado, bukan rekaman Lion Air," kata dia.
Keluarga besar BNPB dan BPBD se Indonesis, turut berduka cita atas terjadinya musibah kecelakaan transportasi pesawat @LionAirID JT-610. Mari kita bersama-sama tidak menyebarluaskan foto korban dan menyebarkan Hoax. Yuk, jadi netizen yang cerdas #prayforjt610 #prayforlionair pic.twitter.com/MfcJAxm8tb
— Sutopo Purwo Nugroho (@Sutopo_PN) October 30, 2018
Pakar medsos Enda Nasution mengatakan, setiap peristiwa musibah membuat ketertarikan masyarakat bertambah. Menurut dia, ada orang yang memanfaatkan ketertarikan itu untuk menyebarkan informasi yang belum jelas.
"Motivasinya bisa ekonomi, dia bisa dapat uang dari iklan dan lain sebagainya," kata dia saat dihubungi Republika, Kamis (1/11).
Ia menjelaskan, ketertarikan itu akan berbuah pada trafik tinggi di platform medsos. Jika hoaks itu ditayangkan di Youtube atau blog maka trafik yang tinggi berpotensi mendatangkan iklan.
"Itu bisa mendapat penghasilan," kata dia.
Namun, kata dia, perilaku masyarakat menyebarkan hoaks lebih banyak disebebkan untuk mencari sensasi atau karena tidak tahu. Artinya, harus ada peningkatan literasi mengenai medsos.
Enda menjelaskan, cara untuk meningkatkan literasi mengenai medsos adalah dengan menyetop hoaks di diri sendiri. Ia yakin, dengan menyetop hoaks, akan semakin banyak masyarakat yang mengerti.
"Setop hoaks sampai kamu saja," kata dia.
Selain itu, menurut dia, perlu dilakukan pelatihan kepada pelajar dan mahasiswa dalam menggunakan medsos. Pelatihan juga perlu dlakukan kepada masyarakat berusia di atas 50 tahun agar lebih bijak menggunakan medsos.
"Dalam grup WA juga yang mengerti jangan diam saja. Harus membantah atau menetralisir informasi hoaks. Semakin banyak yang terimbau, makin banyak yang menyadari bahaya hoaks," kata dia.
Enda Nasution
Pengamat sosial Devie Rahmawati menjelaskan, ada studi yang menjelaskan alasan masyarakat menyebarkan hoaks. Ia mengatakan, saat ini medsos sudah dianggap sebagai media arus utama yang dipercaya keasliannya. Karena itu, masyarakat merasa tidak perlu mengonfirmasi informasi yang diterima dari medsos.
Faktor kedua, ia menjelaskan, pada dasarnya manusia itu memiliki kecenderungan tidak mau ketinggalan tren. Artinya, ketika sekarang ada isu tentang jatuhnya pesawat misalnya, manusia cenderung akan menyebarkannya.
"Orang takut kalau enggak gaul. Apapun berita soal yang terbaru, dia akan sebarin itu," kata dia.
Faktor ketiga, lanjut Devie, manusia memiliki sifat berbagi, khususnya ketika merasa ketakutan. Artinya, ketika masyarakat mendengar berita yang menakutkan atau menyedihkan, mereka akan menyebarkannya.
"Jadi dia tak mau takut sendiri, tdak mau sedih sendirian. Ketika ada berita itu, dia akan menyebarkannya agar tidak takut sendiri, karena ingin berbagi ketakutan itu," ujat dia.
Faktor keempat, Devie menjelaskan, manusia cenderung akan menyebarkan berita yang sesuai keyakinannya. Sementara faktor kelima, ada sebagaian masyarakat yang memang berniat menyebarkan hoaks untuk mencari sensasi.
Menurut dia, fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan seluruh dunia. Bahkan, di negara maju.
Karena itu, penting meningkatkan literasi mengenai medsos untuk meminimalisir penyebaran hoaks. Ia menegaskan, harus ada orang-orang yang mau meluangkan sedikit waktunya untuk mengonfirmasi informasi yang beredar.
Devie menilai, masyarakat yang mau meluangkan waktu untuk melakukan konfirmasi masih sedikit. Apalagi, kata dia, orang yang mau menyampaikan bahwa informasi yang tersebar itu tidak benar.
"Bukan dia gak pintar, tapi malas karena kita gak punya waktu. Kita selalu mau jadi yang terdepan dalam menyampaikan. Itu yang kemudian orang dengan mudah menyebarkan berita hoaks," kata dia.