Rabu 31 Oct 2018 18:11 WIB

ICW: Putusan MA Soal OSO Rancu dan tidak Bisa Digunakan

ICW berharap KPU konsisten dalam menyikapi putusan MA ini

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Bayu Hermawan
Koordinator Divisi Politik ICW Donal Fariz
Foto: Republika/Debbie Sutrisno
Koordinator Divisi Politik ICW Donal Fariz

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Bidang Politik dan Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan, putusan Mahkamah Agung (MA) soal uji materi syarat pencalonan anggota DPD dalam PKPU Nomor 26 Tahun 2018 rancu dan tidak bisa digunakan. Pihaknya berharap KPU konsisten dalam menyikapi putusan MA ini.

Menurutnya, andaikan amar putusan MA menyatakan bahwa pengurus parpol diperbolehkan menjadi calon anggota DPD, maka hal ini menjungkirbalikkan logika hukum dan logika demokrasi. "Sekarang sudah mulai ada tekanan kepada KPU untuk segera mengakomodasi putusan itu. Namun, kami harap KPU konsisten menyikapinya dengan tetap menggunakan dasar peraturan yang ada soal pencalonan anggota DPD. Putusan MA ini rancu dan tidak bisa digunakan," tegasnya di Jakarta Selatan, Selasa (31/10).

Sebab, pada Juli lalu Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan bahwa pengurus parpol tidak bisa menjadi calon anggota DPD. MK juga secara tegas menjelaskan jika putusannya mulai berlaku untuk Pemilu 2019, dan bukan untuk Pemilu 2024. Jika merujuk kepada proses pencalonan DPD saat itu pun putusan MK sudah bisa diberlakukan. Pada Juli lalu, KPU belum menetapkan daftar calon tetap (DCT) peserta Pemilu 2019.

"Maka MK berpendapat masih ada waktu bagi bakal calon anggota DPD untuk melepas baju parpol dan bisa resmi menjadi calon anggota DPD. Semangatnya apa, untuk memurnikan DPD sebagai lembaga yang  merepresentasikan daerah. Dengan demikian, tidak beertabrakan dengan peran DPR RI yang merepresentasikan parpol," katanya.

Terpisah, peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, mengatakan dasar KPU mencoret para pengurus parpol yang tidak menyerahkan surat pengunduran diri saat mendaftar sebagai calon anggota DPD adalah putusan MK. Sehingga putusan itu bersifat final, mengikat dan derajad penggunaannya sama dengan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Sementara itu, MA dalam memproses uji materi PKPU Nomor 26 Tahun 2018 menggunakan batu uji UU Pemilu.

"Maka menjadi aneh sebab undang-undang mana yang menjadi rujukan MA ? Sementara itu, putusan MK sendiri mengacu pada uji materi atas UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Putusan ini pun jelas mengatakan bahwa tidak boleh ada pengurus parpol boleh menjadi calon anggota DPD dan larangan itu berlaku pada 2019," tegas Fadli.

Dengan demikian, tidak ada celah atau ruang hukum untuk mengatakan bahwa PKPU bertentangan dengan undang-undang. "Inilah yang menjadikan putusan MA aneh dan ajaib. Kami berharap kekuasaan kehakiman memiliki kemerdekaan dan kebebasan untuk memberikan keputusan terhadap perkara yang mereka sidang. Tetapi kemerdekaan dan kebebasan itu harus merujuk kepada ketentuan hukum serta prinsip-prinsip hukum yang berlaku agar tidak ada kekisruhan dan kekacauan di dalam bernegara. Kami berharap MA tidak sedang menuju kearah sana," tambah Fadli.

Pada Selasa (30/10), Juru Bicara MA, Suhadi, mengatakan uji materi PKPU Nomor 26 itu diputuskan pekan lalu. Namun, MA belum bisa menyampaikan secara konkret dasar dari putusan itu.

"Sudah diputuskan dikabulkan pada Kamis (25/10) lalu. Untuk alasan hukumnya nanti akan disampaikan secara lengkap oleh Direktur Perkara MA," ujar Suhadi.

Sebelumnya, pada Juli lalu, MK telah  memutuskan mengabulkan permohonan uji materi atas pasal 128 huruf I UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.  Menurut MK, pasal 182 huruf I tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan inkonstitusional. Pasal itu menyebutkan bahwa calon anggota DPD tidak boleh memiliki 'pekerjaan lain'.

Adapun pekerjaan lain yang dimaksud yakni tidak melakukan praktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara, serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang atau hak sebagai anggota DPD.

Hakim MK, I Gde Dewa Palguna, dalam pertimbangan putusannya menyebutkan bahwa frasa 'pekerjaan lain' harus mencakup makna pengurus parpol. "Maka, Mahkamah penting untuk menegaskan bahwa pengurus adalah mulai dari pusat sampai paling rendah sesuai struktur organisasi parpol," tegasnya.

Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, mengatakan ada perbedaan substansi antara putusan MA dan putusan MK. Putusan MK pada intinya melarang pengurus parpol menjadi calon anggota DPD. Sementara itu, dalam putusannya, MA mengabulkan permohonan uji materi tentang syarat pencalonan anggota DPD yang tertuang pada PKPU Nomor 26 Tahun 2018.

Dalam PKPU itu diatur tentang larangan bagi pengurus parpol menjadi calon anggota DPD. "KPU harus mematuhi hukum. Namun, karena ada dua subtansi yang berbeda dari dua lembaga peradilan itu, maka KPU akan berkomunikasi dengan keduanya. Sebab kan ada dua produk hukum," jelas Wahyu kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa.

Komunikasi yang dilakukan, kata dia, bisa dilakukan melalui surat atau datang langsung ke MK dan MA. Menurut pandangan KPU, masing-masing putusan harus ditanyakan secara rinci kepada lembaga yang mengeluarkan putusan.

"Sebaiknya KPU bertanya kepada lembaga yang mengeluarkan, KPU harus menuruti yang mana ? ," ungkapnya.

Pihaknya memahami jika putusan MA harus segera dieksekusi demi kepastian hukum. Namun, KPU juga berhati-hati. Hingga Selasa, KPU belum menerima salinan putusan MA.  "Kalau kami bertanya (kepada MA dan MK), itu bukan berarti KPU tidak patuh hukum. Justru kami Berhati-hati dalam mematuhi hukum, dengan bertanya," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement