Rabu 31 Oct 2018 16:16 WIB

Perludem Minta MA Segera Publikasikan Putusan Soal Oso

Putusan MA akan semakin menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan pemilu.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Ratna Puspita
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil (kanan) dalam peluncuran hasil penelitian dan pemantauan terhadap proses dan perselisihan hasil Pilkada 2017 oleh Mahakamah Konstitusi di Jakarta, Senin (22/5).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil (kanan) dalam peluncuran hasil penelitian dan pemantauan terhadap proses dan perselisihan hasil Pilkada 2017 oleh Mahakamah Konstitusi di Jakarta, Senin (22/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan putusan Mahkamah Agung (MA) soal uji materi tentang syarat pencalonan anggota DPD harus segera dipublikasikan. Jika tidak, putusan ini akan semakin menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan pemilu. 

Fadli menyebut putusan MA atas perkara uji materi yang diajukan oleh Oesman Sapta Odang (Oso) ini sebagai 'dugaan putusan'. Sebab, ia mengatakan, Sampai saat ini belum diketahui putusannya seperti apa. 

“Petikan dari putusan sendiri juga belum keluar. Baru ada pernyataan singkat dari juru bicara MA yang membenarkan bahwa uji materi itu dikabulkan," ujar Fadli di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (31/10). 

Karena itu, dia menilai kondisi saat ini menimbulkan ketidakpastian hukum, baik penyelenggara pemilu maupun masyarakat tidak tahu bagian mana saja dari uji materi yang dikabulkan oleh MA. Ia pun mengatakan kasus ini harus menjadi evaluasi bagi MA.

“Sebab, semua hasil putusan itu harus jelas dan terang, apa amar putusannya? Bagaimana perintah putusannya? Jika kita tidak tahu bagaimana putusannya bagaimana akan menindaklanjuti?" lanjut Fadli. 

Karena itu, dia meminta MA segera saja mempublikasikan hasil putusan  tersebut. “Supaya masyarakat tahu, penyelenggara pemilu juga tahu. Jika tidak segera dipublikasikan, justru semakin membuat ketidakpastian hukum," kata dia.

Sebelumnya, Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengatakan ada perbedaan substansi antara putusan MA dan putusan MK. Putusan MK pada intinya melarang pengurus parpol menjadi calon anggota DPD. 

Sementara itu, dalam putusannya, MA mengabulkan permohonan uji materi tentang syarat pencalonan anggota DPD yang tertuang pada PKPU Nomor 26 Tahun 2018.  Dalam PKPU itu diatur tentang larangan bagi pengurus parpol menjadi calon anggota DPD. 

"KPU harus mematuhi hukum. Namun, karena ada dua subtansi yang berbeda dari dua lembaga peradilan itu, maka KPU akan berkomunikasi dengan keduanya. Sebab kan ada dua produk hukum," jelas Wahyu kepada wartawan di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (30/10). 

Komunikasi yang dilakukan, kata dia, bisa dilakukan melalui surat atau datang langsung ke MK dan MA. Menurut pandangan KPU, masing-masing putusan harus ditanyakan secara rinci kepada lembaga yang mengeluarkan putusan. 

"Sebaiknya KPU bertanya kepada lembaga yang mengeluarkan, KPU harus menuruti yang mana?” kata dia. 

KPU memahami jika putusan MA harus segera dieksekusi demi kepastian hukum. Namun, KPU juga berhati-hati. Hingga Selasa, KPU belum menerima salinan putusan MA. 

"Kalau kami bertanya (kepada MA dan MK), itu bukan berarti KPU tidak patuh hukum. Justru kami Berhati-hati dalam mematuhi hukum, dengan bertanya," kata dia.

Dihubungi terpisah, Selasa siang, Juru Bicara MA, Suhadi, mengatakan uji materi PKPU Nomor 26 itu diputuskan pekan lalu. Namun, MA belum bisa menyampaikan secara konkret dasar dari putusan itu. 

"Sudah diputuskan dikabulkan pada Kamis (25/10) lalu. Untuk alasan hukumnya nanti akan disampaikan secara lengkap oleh Direktur Perkara MA," ujar Suhadi. 

Pada Juli lalu, MK telah  memutuskan mengabulkan permohonan uji materi atas pasal 128 huruf I UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Menurut MK, pasal 182 huruf I tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan inkonstitusional. Pasal itu menyebutkan bahwa calon anggota DPD tidak boleh memiliki 'pekerjaan lain'. 

Pekerjaan lain yang dimaksud yakni tidak melakukan praktik sebagai akuntan publik, advokat, notaris, pejabat pembuat akta tanah dan/atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara, serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang atau hak sebagai anggota DPD. 

Hakim MK I Gde Dewa Palguna, dalam pertimbangan putusannya menyebutkan bahwa frasa 'pekerjaan lain' harus mencakup makna pengurus parpol. "Maka, Mahkamah penting untuk menegaskan bahwa pengurus adalah mulai dari pusat sampai paling rendah sesuai struktur organisasi parpol," kata dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement