Rabu 31 Oct 2018 09:07 WIB

Mengembalikan Semangat Sumpah Pemuda

Sesengit apa pun kontestasi politik, kita semua saudara di bawah naungan kebangsaan..

Ketua Komando Tugas Bersama (Kogasma) pemenangan Pemilu Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyampaikan orasi politik di Jakarta, Jumat (3/8).
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Ketua Komando Tugas Bersama (Kogasma) pemenangan Pemilu Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyampaikan orasi politik di Jakarta, Jumat (3/8).

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Agus Harimurti Yudhoyono, Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute Jakarta

Saya berdiri di tebing dekat puncak Hargo Dumilah, Gunung Lawu, 3.265 meter di atas permukaan laut. Langit biru, matahari bersinar cerah, bendera Merah Putih di tangan saya berkibar-kibar, ditiup angin dingin.

Di bawah saya, awan putih bergerak berarakan perlahan. Suasana sunyi. Dada saya bergemuruh. Berada di puncak memang membawa perasaan yang luar biasa.

Delapan jam kami mendaki, termasuk beristirahat di lima pos sepanjang jalur pendakian dari Cemoro Kandang, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, sehari sebelumnya. Setelah bermalam bersama dingin, pagi harinya kami diganjar fajar yang indah.

Di sisi langit yang lain bulan purnama berangsur sirna. Menjelang 90 tahun Sumpah Pemuda, saya mengajak para pemuda lintas generasi memperingatinya dengan cara lain, mendaki gunung.

Di balik awan itu, di kaki gunung, ada Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah serta Kabupaten Ngawi dan Magetan, Jawa Timur, selanjutnya hamparan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, dua provinsi yang termasuk populasinya paling padat di Indonesia.

Di tengah pagi yang cerah, di puncak salah satu gunung tertinggi di Pulau Jawa ini, ingatan saya mengembara pada tatapan mata, genggaman tangan, keluhan atas kesulitan sehari-hari, dan harapan akan kehidupan yang lebih baik.

Yakni, dari masyarakat di kota dan kabupaten yang pernah saya kunjungi dari ujung Banten dan Jawa Barat hingga Jawa Timur. Hal serupa saya temui ketika mengunjungi wilayah lain di luar Pulau Jawa, dari Aceh hingga Papua.

Bagaimana memaknai semua ini dalam konteks Sumpah Pemuda? Sembilan puluh tahun lalu, pada 28 Oktober 1928, pemuda dari berbagai suku, ras, budaya, dan agama berkumpul di Jakarta pada Kongres Pemuda II untuk merumuskan fondasi persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam suasana penjajahan Belanda, Muhammad Yamin, Wage Rudolf Supratman, Soegondo, serta pemuda lainnya merumuskan ikrar sumpah setia untuk bersatu nusa, satu bangsa, satu bahasa, Indonesia.

Dalam momentum ini pulalah lagu //Indonesia Raya// pertama kalinya diperdengarkan, memperkuat kesadaran nasional yang kelak menjadi cikal bakal penting untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bayangkan, di tengah tekanan pemerintah kolonial Belanda saat itu, berbagai organisasi dan perkumpulan pemuda mulai dari Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Pemoeda Kaoem Betawi, Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), Jong Celebes, hingga Jong Ambon serta perwakilan dari etnis Tionghoa dan daerah Papua mampu bersepakat menerima bahasa Indonesia sebagai //lingua franca// yang menyatukan nusantara.

Bahasa Indonesia berhasil menjadi jembatan komunikasi yang efektif untuk menyemai benih-benih nasionalisme selanjutnya pada beragam kalangan, di berbagai wilayah.

Walhasil, tak hanya kalangan pemuda yang merasa bangga ber-Indonesia, bahkan kerajaan dan kesultanan yang tersebar di berbagai penjuru negeri juga dengan bersuka hati melebur dan mendukung lahirnya NKRI.

Sejarah kelak mencatat gelora persatuan dan kesatuan ini merupakan buah dari gerakan Sumpah Pemuda yang fenomenal, //genuine,// dan membanggakan sebagai akar yang kuat bagi tegaknya Republik.

Gerakan sosial-politik ini efektif mematahkan strategi ‘Devide at impera’ yang selama berabad-abad digunakan Belanda untuk melemahkan kekuatan bangsa Indonesia. Ikrar persatuan di atas menyingkirkan sekat kepentingan dan hambatan primordial. Dalam mewarisi semangat luhur Sumpah Pemuda, kita semua harus terus mawas diri dan saling menasihati dalam kebaikan, guna merawat NKRI.

Dalam demokratisasi pada era reformasi ini, tanpa sadar sebagian kelompok masyarakat terjebak dalam sekat kepentingan sempit yang membahayakan fondasi persatuan bangsa. Media massa dan media sosial, misalnya, sempat dibanjiri pro-kontra kebinekaan.

Terjadi polarisasi tajam antarkelompok kepentingan dengan melabeli pihaknya lebih pro-kebinekaan dan lawannya sebagai anti-kebinekaan dengan membawa serta label agama.

Seolah-olah nasionalisme bertentangan dengan agama. Padahal, sejarah panjang negeri ini terbentuk dari rajutan kukuh kebangsaan dan keagamaan. Ada kelompok tertentu yang tega memainkan isu SARA dan politik identitas untuk merebut kemenangan atas kekuasaan.

Kondisi ini mengikis ruang dialog kolektif untuk membicarakan persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang lebih penting. Ingar-bingar semangat berdemokrasi justru menjebak berbagai kelompok masyarakat dalam efek //echo-chamber// yang tak berkesudahan.

Masing-masing kubu hanya mau mendengar gema suara sendiri walaupun mungkin salah, enggan mendengar suara pihak lain walaupun mungkin benar. Akses informasi yang mudah dari internet yang harusnya mencerahkan malah membuat kegaduhan politik.

Seolah kita lupa, lawan dalam berpolitik adalah kawan dalam membangun bangsa. Untuk itu, momentum peringatan Sumpah Pemuda yang ke-90 tahun ini harus menjadi momen refleksi bersama untuk meneguhkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa.

Sesengit apa pun kontestasi politik, kita semua saudara di bawah payung kebangsaan yang sama. Jangan sampai demokrasi di negeri ini menjadi ajang memproduksi dan menyebarkan fitnah, informasi menyesatkan, dan ujaran kebencian tak berkesudahan.

Kita harus gigih mengembalikan demokrasi sebagai instrumen politik yang sanggup mengakomodasi aspirasi seluruh anak bangsa yang begitu beragam ini. Tujuannya, menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel.

Dengan demikian, kita bisa memastikan setiap manfaat layanan publik yang terbaik dapat sampai dan dirasakan langsung masyarakat pada tingkat akar rumput. Semangat Sumpah Pemuda ini harus bisa mengingatkan seluruh anak bangsa untuk mampu menahan diri, jangan saling mengompori, dan memastikan masyarakat di sekitarnya tetap berpikir jernih, tenang dalam bersikap, dan tidak saling memprovokasi.

Keadaban kita sebagai bangsa, tecermin pada kebebasan yang bertanggung jawab, menjunjung tinggi etika dan norma hukum, untuk mencegah munculnya tindakan anarkistis dan perpecahan bangsa, apa pun alasannya.

Sikap kritis dan bijaksana harus diseimbangkan untuk semangat menjunjung tinggi politik kebangsaan. Semangat rekonsiliasi dalam berdemokrasi merupakan nilai kebajikan yang diamanahkan para pemuda pendahulu kita.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement