REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi kembali menolak gugatan uji materi pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden atau Presidential Threshold, Kamis (25/10) hari ini.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PKB, Nihayatul Wafiroh menyebut putusan MK itu makin menegaskan pasal yang dibuat DPR dan Pemerintah telah melalui kajian mendalam. Ia juga menegaskan, pasal tersebut memang sudah dipikirkan secara matang oleh pembuat Undang-undang.
"Sebenernya ketika kita sudah mendiskusikan presidential threshold 20 persen untuk yang punya kursi di DPR, itu sebenarnya sudah melalui kajian mendalam. Tapi kita tidak mau menutup hak warga untuk mengajukan JR (judicial review)," ujar Nihayatul saat dihubungi wartawan, Kamis (25/10).
Menurutnya, pertimbangan DPR dan Pemerintah membuat pasal presidential threshold 20 persen kursi di DPR atau 25 persen perolehan kursi nasional agar posisi presiden diimbangi dengan dukungan legislatif yang kuat. Sehingga kebijakan Pemerintah dapat didukung oleh kekuatan yang cukup di legislatif.
"Kenapa kita merumuskan 20 persen itu di UU sebenarnya salah satunya agar Presiden ini ketika mengambil kebijakan benar-benar mendapat dukungan penuh dari legislatif, dengan begitu nanti jalannya pemerintahan juga akan berjalan dengan baik, itu tujuannya seperti itu," kata Nihayatul.
Menurutnya, putusan itu juga menegaskan pasal tersebut konstitusional dan bukan karena demi kepentingan partai- partai tertentu. "Ketika kita buat UU itu tidak gampang, itu betul-betul berdasarkan pemikiran dan tidak berpikir demi kepentingan partai," katanya.
Sedangkan Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Gerindra Ahmad Riza Patria mengaku prihatin dan kecewa atas putusan tersebut. Ia juga sudah memprediksi bahwa MK akan menolak ini materi tersebut.
"Kami sangat prihatin dan kecewa atas putusan MK yang menurut saya memang dalam berapa tahun terakhir ini keliatan kecenderungannya mendukung apa pun yg menjadi kebijakan Pemerintah," ujar Riza.
Menurut Riza, harusnya MK memahami bahwa pasal presidential threshold tersebut tidak sesuai dengan UUD 1945 dimana setiap warga negara punya hak memilih dan dipilih. Namun dengan adanya batasan presidential threshold, membatasi masyarakat atau partai.
"Kalau ada batasan 20 persen itu artinya tidak ada kesetaraan, dalam berbangsa dan bernegara berarti partai-partai besar saja yang memiliki hak kekhususan partai-partai menengah ke bawah berarti tidak punya hak yang sama," kata Riza.