Kamis 25 Oct 2018 15:13 WIB

MK Kembali Tolak Uji Materi Presidential Threshold

MK tidak menemukan alasan mendasar untuk menerima uji materi presidential threshold.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Bayu Hermawan
Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman.
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan uji materi perkara No 49/PUU-XVI/2018 yang menguji Pasal 222 Undang-Undang (UU) No 7/2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam pertimbangannya, MK tidak menemukan alasan mendasar untuk mengubah pendirian mereka berdasarkan putusan-putusan sebelumnya.

"Amar putusan, mengadili, dalam provisi menolak permohonan provisi para pemohon. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan di gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (28/11).

Hakim konstitusi mengatakan, makamah telah berkali-kali menyatakan pendiriannya sebagaimana tertuang dalam sejumlah putusan MK sejak 2008. Putusan-putusan itu, di antaranya Putusan MK No 51-51-59/PUU-VI/2008, No 56/PUU-VI/2008, No 26/PUU-VII/2009, No 4/PUU-XI/2013, No 14/PUU-XI/2013, No 46/PUU-XI/2013, dan putusan lainnya hingga yang terakhir Putusan MK No 72/PUU-XV/2017.

Setelah membaca semua putusan MK yang berkenaan langsung dengan ketentuan ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) itu, hakim konstitusi berpendirian, mendasarkan syarat perolehan suara partai politik di DPR dengan persentase tertentu untuk dapat mengusulkan pasangan capres-cawapres adalah konstitusional. Selain itu, hakim konstitusi juga berpendapat tidak terdapat alasan mendasar untuk mereka mengubah pendirian mereka.

"Terhadap pernyataan tersebut, Mahkamah berpendapat tidak terdapat alasan mendasar yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah pendiriannya," katanya menjelaskan.

Alasan mereka tidak harus mengubah pendiriannya, antara lain, berdasarkan Putusan MK No 53/PUU-XV/2017 yang diucapkan pada 11 Januari 2018. Pada putusan tersebut, mahkamah menanggapi salah satu dalil pemohon yang menyebutkan, ketentuan presidential threshold yang termuat dalam Pasal 222 UU Pemilu merusak sistem presidensial.

Pemohon saat itu menyebutkan, hal tersebut mengeliminasi fungsi evaluasi penyelenggaraan pemilu. Kemudian majelis hakim menyatakan, ketentuan yang termuat dalam Pasal 222 UU Pemilu justru bersesuaian dengan gagasan penguatan sistem presidensial yang menjadi desain konstitusional UUD 1945.

Selain itu, MK juga menolak sepenuhnya permohonan uji materi pasal serupa yang diajukan oleh Effendi Gazali CS. Pokok uraian mereka bertumpu pada argumentasi mereka akan mengalami kerugian konstitusional jika Pasal 222 UU No 7/2017 diberlakukan karena merasa dibohongi dan suara yang diberikan dalam Pemilihan Legislatif DPR 2014 telah dimanipulasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement