REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, Hari Santri Nasional pada Senin (22/10) lalu harus menjadi momentum bagi para santri menunjukkan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Sebab, sosok santri merupakan perlambang kebajikan agama Islam.
Ia bersyukur, saat ini banyak santri yang merasa percaya diri. "Gempita merasa menjadi santri tampak menggema di Tanah Air hari-hari ini. Berbagai pernyataan, jargon, dan upacara untuk menunjukkan diri sebagai santri meluas di mana-mana," kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Selasa (23/10).
Menurut dia, kenyataan itu menjadi pertanda baik akan adanya wujud keislaman yang lebih berkualitas dari umat Islam di Indonesia. Ia berharap, peran santri dapat mewarnai kehidupan Indonesia menjadi lebih baik dengan nilai-nilai luhur Islam.
Ia menyatakan, dengan pengaruh santri, Indonesia dapat menjadi negara dan bangsa yang bebas dari korupsi. Bukan justru sebaliknya, memanfaatkan kekuasaan, melakukan kekerasan, kemaksiatan, dan segala keburukan yang membuat citra negeri ini terpuruk.
"Kesantrian itu harus menunjukkan jiwa, pikiran, perilaku, dan tindakan keislaman yang benar-benar Islami secara nyata. Bukan dalam klaim dan retorika," ujar dia.
Ia menjelaskan, secara umum santri merupakan julukan bagi seseorang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren. Karena itu, julukan santri melekat dengan dunia pesantren yang mendidik beragama dengan benar dan baik.
Bahkan, kata dia, santri telah menjadi kategori keagamaan untuk menunjuk Muslim yang taat menjalankan agama Islam. Selain itu, santri sering disimbolkan kaum putih sebagai perlambang bersih atau suci, lawannya abangan.
"Jadi, betapa luhur status keislaman kaum santri sehingga bukan atribut yang sembarangan," kata dia.
Dengan demikian, kaum santri harus menunjukkan sikap, tutur kata, dan tindakan yang berakhlak mulia. Sebagaimana diajarkan di pesantren, kata dia, santri harus merepresentasikan akhlak jujur, amanah, menjaga lisan, sopan santun, damai, toleran, seimbang, kata sejalan tindakan, dan segala perangai yang mulia, serta menebar rahmat bagi orang lain dan lingkungannya.
Sebaliknya, lanjut dia, kaum santri menjauhi segala perilaku merugikan diri sendiri, orang lain, dan lingkungannya. Menurut dia, santri tidak melakukan akhlak yang buruk, seperti kekerasan kepada siapa pun dan apa pun, seperti menyiksa, membakar, dan berbuat onar atau anarkis di ruang publik atas nama perbuatan baik.
"Santri tidak dibenarkan berbuat sekehendaknya, apalagi dengan menggunakan alasan agama dan nasionalisme. Jika berbeda paham atau pandangan, kaum santri tetap baik, damai, dan toleran sebagai wujud ukhuwah," kata dia.
Ia menegaskan, jika kaum santri dapat menunjukkan uswah hasanah atau teladan yang baik, umat dan bangsa akan menjadi khaira ummah. Sebaliknya, ketika santri tidak mampu menunjukkan keteladanan, kepercayaan publik akan menghilang.
"Tentu saja berdampak luas pada citra umat Islam di negeri ini," ujar dia.