REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Daerah Istimewa Yogyakarta memang menawarkan banyak keunikan. Sejumlah gelar tradisi malah mampu bertransformasi jadi ciri khas sekaligus melahirkan daya tarik tersendiri untuk mengunjungi DIY.
Gelar tradisi memang menjadi pilihan utama sebagian besar masyarakat DIY untuk memperingati sesuatu. Mulai yang memiliki kaitan budaya, nuansa wisata, sampai gelar-gelar tradisi yang memiliki warna pendidikan.
Hampir setiap pekan, selalu ada gelar tradisi yang digelar entah di Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Gunungkidul, sampai Kota Yogyakarta tidak ketinggalan mengadakan gelar tradisi.
Hebatnya, hampir setiap gelar tradisi sukses menarik masyarakat untuk datang. Selain masyarakat, gelar-gelar tradisi yang ada sukses menjadi daya tarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.
Sosok bule-bule yang berselancar ke tengah-tengah lautan masyarakat sudah menjadi pemandangan biasa. Pun wisatawan-wisatawan lokal yang biasanya sudah siap dengan gawai-gawai canggih di tangannya.
Akhir pekan lalu saja, setidaknya ada dua gelar tradisi yang berlangsung. Keduanya, Merti Bakpia di Kota Yogyakarta maupun Penyebaran Apem di Kabupaten Sleman, sukses menarik ribuan masyarakat.
Merti Bakpia, telah dilaksanakan sejak 2012 di Kampung Pathuk, Kelurahan Ngampilan, Kecamatan Ngampilan, Kota Yogyakarta. Tahun ini, lima gunungan bakpia diarak dari dan kembali ke Jalan KS Tubun.
Tidak kurang 6.000 butir bakpia dibawa dari gunungan lanang dan wadon, serta 4.000 butir bakpia lain dari tiga gunungan anakan. Arakan didampingi beragam kesenian yang berasal dari 13 RW di Kelurahan Ngampilan.
Ketua Panitia Merti Bakpia, Kusmantoro mengatakan, seluruh bakpia yang diarak merupakan produk asli dari UMKM-UMKM bakpia di Ngampilan. Ia mengaku senang, ada peningkatan signifikan dari produsen bakpia.
"Sekarang terdapat sekitar 170 produsen bakpia di Kelurahan Ngampilan dengan tiga koperasi yang menaunginya," kata Kusmantoro, Ahad (21/10).
Usai diarak, puluhan ribu bakpia diperebutkan masyarakat. Semua orang tumpah ke lokasi gunungan-gunungan bakpia yang semakin memeriahkan suasana. Uniknya, tidak ada kerusuhan, semua larut dalam keseruan.
Bagi Wakil Wali Kota Yogyakarta, Heroe Poerwadi, gelaran jadi penegasan lain bakpia usai dinyatakan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Yogyakarta. Penegasan Kota Yogyakarta sebagai rumahnya bakpia.
"Merti Bakpia penting untuk terus dilaksanakan dan kita pelihara sebagai identitas dan penanda kalau bakpia berasal dari Pathuk," ujar Heroe.
Sehari sebelumnya, Upacara Adat Ki Ageng Wonolelo digelar di Pondok Wonolelo, Desa Widodomartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman. Pada kesempatan itu, tidak kurang 1,5 ton apem diperebutkan masyarakat.
Lepas shalat Jumat, 1,5 ton apem yang sudah diarak disebarkan dari menara yang ada di Pondok Wonolelo. Disebar dari menara setinggi lebih dari tiga meter itu, langsung diperebutkan ribuan masyarakat yang menunggu di bawah.
Tahun ini, jadi ke-51 kalinya gelaran tersebut, untuk mengapresiasi perjuangan Ki Ageng Wonolelo, salah satu tokoh Islam pada masa silam. Ketua umum panitia, Wartono menuturkan, gelaran ini sekaligus menjadi dukungan wisata budaya.
Selain itu, saparan bertujuan mengajak generasi muda agar menggali dan lebih memahami nilai-nilai seni budaya yang adiluhung. Serta, memberikan wahana bagi pertumbuhan kesenian rakyat.
"Dan menumbuhkan rasa handarbeni dan kecintaan terhadap seni budaya bangsa sendiri," kata Wartono, Sabtu (20/10).
Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman, Aji Wulantara menerangkan, Ki Ageng Wonolelo yang bernama asli Jumadi Geno merupakan keturunan Prabu Brawijaya V. Sekaligus, tokoh agama Islam pada masa Kerajaan Mataram.
Bermukim di Dusun Pondok Wonolelo, ilmu tinggi Ki Ageng membuatnya diutus Raja Mataram ke Kerajaan Sriwijaya di Palembang yang saat itu membangkang. Ki Ageng berhasil menjalankan tugasnya.
Atas kesuksesan itu, nama Ki Ageng Wonolelo semakin tersohor dari waktu ke waktu. Sehingga, semakin banyak orang yang berdatangan langsung ke Pondok Wonolelo untuk berguru.
Saparan turut dimeriahkan dengan kirab pusaka dan kirab keprajuritan yang mengiringi apem. Semua itu, tidak lain sebagai peringatan atas perjuangan dari sosok hebat bernama Ki Ageng Wonolelo.
"Memperingati dan mengapresiasi perjuangan Ki Ageng Wonolelo," ujar Aji.
Dari Merti Apem dan Saparan Ki Ageng Wonolelo, dapat terlihat besarnya daya tarik gelar-gelar tradisi yang ada di DIY. Terlebih, gelar-gelar itu kini sudah rutin terselenggara setiap tahun.
Artinya, selain keindahan pantai, keunikan budaya, kehebatan kampus-kampus, sampai kesohoran wisata, ada daya tarik lain yang ditawarkan DIY. Yaitu, gelaran-gelaran tradisi yang tidak habis dimakan zaman.