Senin 22 Oct 2018 23:30 WIB

Pembahasan RUU Pesantren jadi Prioritas Pemerintah

Pembahasan RUU diyakini tidak akan lama karena komitmen DPR dan pemerintah

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (kedua kiri)
Foto: Republika TV/Fian Firatmaja
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (kedua kiri)

REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang baru disetujui oleh DPR, akan segera dibahas oleh pemerintah. Keberadaan produk hukum itu dinilai akan bisa menjaga eksistensi pesantren.

Hal itu diungkapkan Menteri Agama, Lukman Hakim Saefudin, saat menutup Festival Tajug dalam rangka Hari Santri Nasional 2018 di Alun-alun Keraton Kasepuhan Kota Cirebon, Senin (22/10).

Lukman menyatakan, setelah disetujui DPR dan diserahkan kepada pemerintah, maka pemerintah akan menjadikan RUU tersebut sebagai prioritas utama untuk dibahas. Dia pun yakin, pembahasan RUU tersebut tidak akan terlalu lama karena komitmen pemerintah dan DPR sudah sejalan.

"DPR dan pemerintah sama-sama berkomitmen untuk menjaga eksisteni pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan di negara kita," kata Lukman.

Lukman menilai, keberadaan perundangan tersebut akan bisa melindungi eksistensi pesantren dari pihak yang ingin mengaburkan arti pesantren. Seperti misalnya, yang hanya mengajarkan ilmu kanuragan, tanpa ada kyai maupun kitab yang diajarkannya, tetapi menamakan diri pesantren.

Selain itu, dalam UU tersebut juga memuat sejumlah ketentuan agar keberadaan pesantren bisa dikembangkan. Dengan demikian, pesantren diharapkan semakin berperan dalam menerima tanggung jawab dan amanah terhadap keberlangsungan nasib bangsa.

Sementara itu, selain dihadiri ribuan santri pesantren, penutupan Festival Tajug juga dihadiri Musytasyar PBNU yang juga calon wakil presiden Ma’ruf Amin, sejumlah raja dan sultan senusantara, serta sejumlah pengurus PBNU.

Musytasyar PBNU yang juga calon Wakil Presiden, Ma’ruf Amin, dalam kesempatan itu mengungkapkan tentang sejarah fatwa jihad dan resolusi jihad, hingga akhirnya melahirkan perjuangan rakyat di Surabaya pada 10 November 1945.

‘’Jadi semangat Hari Santri harus mendorong semangat kita untuk menjaga negara dari kelompok yang akan menciderai keutuhan NKRI, ‘’ tandas Maruf. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement