Selasa 23 Oct 2018 04:00 WIB

Berebut Suara Santri, Sejarah dan Perkembangannya

Para Kiai dinilai sudah berpengalaman dan lihai dalam dunia perpolitikan.

Rep: Mabruroh, Ali Mansur, Umar Mukhtar, Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Kirab Santri Kota Denpasar tahun ini mengusung tema 'Spirit Santri Meneguhkan NKRI.' Sebanyak 16 ribu santri mengikuti kirab di Lapangan Puputan Margarana Niti Mandala Renon, Kota Denpasar, Senin (22/10) sore.
Foto: Republika/Mutia Ramadhani
Kirab Santri Kota Denpasar tahun ini mengusung tema 'Spirit Santri Meneguhkan NKRI.' Sebanyak 16 ribu santri mengikuti kirab di Lapangan Puputan Margarana Niti Mandala Renon, Kota Denpasar, Senin (22/10) sore.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarah lahirnya Hari Santri Nasional yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober tidak luput dari pengaruh dunia politik. Hari seremonial itu merupakan buah janji politik Presiden RI Joko Widodo pada pemilihan presiden (Pilpres) 2014 silam.

Maka tidak heran, kini menjelang Pemilu dan Pilpres 2019 kaum sarungan sebutan untuk para santri sudah menjadi komoditas politik lima tahunan. Lalu, sejak kapan pesantren dan santri menjadi daya tarik dalam komoditas politik?

Pakar budaya politik  dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sukron Kamil, menjelaskan, pesantren menjadi daya tarik dalam rangkaian momen Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 bukan karena jumlah santri yang banyak atau nama besarnya. Melainkan karena kuatnya pengaruh kiai pesantren di tengah masyarakat.

"Kiai cukup menjadi lokomotif untuk membawa suara-suara massa. Jadi pesantren itu tidak dilihat dari suara santri yang ada di dalam, tapi pengaruh sosialnya," tutur dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta itu kepada Republika.co.id, Senin (22/10).

Sukron menambahkan, di zaman Orde Baru, kiai kerap menjadi alat pendongkrak suara partai. Almarhum KH Uqon Bulqoini, kiai Bogor barat, bahkan pernah mengakui, bahwa dulu di Orde Baru kiai sering menjadi "buldoser" untuk memperkuat suara Golkar atau PPP. "Meski setelah itu ditinggalkan begitu saja," papar dia.

Bahkan, Sukron bercerita soal pengalaman di kampung halamannya, Bogor, di mana ayahnya merupakan kiai setempat. Rumahnya saat itu, kerap didatangi orang Golkar agar terjadi peng-Golkar-an di kampungnya. Namun ayahnya tidak bisa dipengaruhi sehingga suara Golkar di sana tidak besar.

"Di desa saya, dan beberapa kampung agak susah dimasuki Golkar, karena masih ada pengaruh ayah saya dan keponakan bersama keluarga yang lain. Karena itu sejak kecil saya tahu orang-orang Golkar itu banyak ke rumah biar terjadi peng-Golkar-an. Itu sesuatu yang biasa," paparnya.

Sukron pun mengingatkan adanya istilah "rakyat itu tergantung agama rajanya". Makna raja dalam konteks kalimat ini, yaitu orang-orang yang punya pengaruh atau karisma meski tidak memiliki kekuasaan politik formal. Karisma ini menjadi kekuatan untuk memengaruhi pilihan masyarakat.

"Dalam bahasa (Max) Weber itu memiliki karisma, yang memang kekuasaan politik formalnya enggak punya tapi karismanya begitu berpengaruh. Saya kira dalam studi sosiologi bisa dilihat dari para ahli karena agama jadi kekuatan moral, bahkan di Amerika masih memiliki pengaruh,”.

 

Sementara, Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago menilai para politikus sangat paham akan keberadaan kaum santri yang secara proporsi sangat besar dan akan sangat mempengaruhi peta politik (mapping electoral). "Sehingga sangat wajar dukungan dari segmen ini memberi kontribusi yang sangat besar dan nyata terhadap tingkat keterpilihan dalam setiap hajatan konstestasi elektoral," ujar Pangi saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Senin (22/10).

Menurut Pangi, para politikus saat ini harus memutar otak dan harus lebih sensitif. Karena para kiai juga sudah sangat berpangalaman serta lihai dalam menghadapi situasi politik yang menempatkan mereka dalam pusaran perebutan dukungan. Sensifitas para politisi yang dimaksudkan adalah pertama, belum tentu memberikan dukungan. "Bahwa sambutan dan keramahtamahan para kiai dan santri ketika datang untuk berkunjung ke pesantren bukan lah berarti mereka telah memberikan dukungan politik “gratis," tutur Pangi.

Kemudian, para kiai secara adab tentu akan sangat memuliakan para tamu, calon gubernur, calon presiden dan kepala daerah lain yang datang berkunjung, itu kewajiban seorang muslim menjamu tamu dan membangun silaturahim. Namun mereka belum tentu akan memberikan dukungan politik dalam bentuk suara di TPS.

Kedua, fragmentasi kiai dan pesantren. Sebaran dan jumlah pesantren di seluruh Indonesia (terutama di pulau Jawa) menjadikan para kiai bersifat lebih otonom dalam membina dan mengurus pesantren-nya masing masing, bahkan sampai urusan politik.

"Tidak ada alur komando dan intruksi yang membuat para kiai hanya mengikuti arus dukungan terhadap kandidat tetentu bahkan yang tergabung dalam satu organisasi sakali pun," terang Syarwi.

Lanjut Pangi, situasi ini tentu membuka ruang kepada masing-masing kubu pendukung capres-cawapres untuk melakukan pendekatan yang lebih intensif karena peluang untuk mendapatkan dukungan dari kalangan santri masih terbuka lebar. Pendekatan yang intensif dan kemampuan memberikan janji angin syorga yang menyakinkan bisa menjadi kunci dalam pendekatan ini, bukan hanya terpaku pada kandidat yang pernah nyantri atau tidak.

Karena kalangan santri juga sadar dan punya kalkulasi politik sendiri, dan mereka tidak lagi mau hanya dimobilisasi mendukung kandidat tertentu dan dikemudian hari mereka diabaikan dan ditinggalkan. Tak mau terulang kasus  mendorong mobil mogok, setelah mobil jalan, yang mendorong ditinggalkan. Kiai dan santri minta kontrak politik sampai pembayaran berupa bantuan yang kongkrit diselesaikan di depan.

"Suara santri dan kiai seringkali hanya dijadikan sebagai komoditas politik semata, seringkali dimanfaatkan, dipakai hanya untuk kepentingan kendaraan politik semata," kritiknya.

Baca juga: Soal Dana Hibah, PDIP: Koordinasi DKI dan Bekasi tak Jalan

Baca juga: Jokowi akan Hadiri Pekan Kerja Nyata Revolusi Mental

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement