Senin 22 Oct 2018 05:53 WIB

Khashoggi dan Noda di ‘Reformasi’ Pangeran MBS

Khashoggi tidak pernah secara terbuka mendukung penggulingan rezim di Saudi

Jamal Khashoggi
Foto: Instagram/@jkhashoggi
Jamal Khashoggi

REPUBLIKA.CO.ID   Oleh: Fitriyan Zamzami

Wilayah tepian pantai di sepanjang corniche selatan dan utara Jeddah kontras dengan kebanyakan wilayah lain di Arab Saudi. Ia dihiasi taman-taman dan plaza yang hijau dipenuhi pohon-pohonan, jalan-jalan setapak yang rapi, serta toilet-toilet umum modern.

Sore hari menjelang malam, saat mentari sudah tak sedemikian terik dan kebanyakan warga Saudi memulai aktivitas luar ruangan mereka, kawasan itu penuh dengan pria dan wanita yang berolahraga. Para laki-laki dengan kaus oblong dan celana pendek. Yang perempuan menutupkan abaya ke atas baju olahraga mereka, sebagian tak berjilbab.

Tidak jauh dari lokasi itu juga, di pemukiman-pemukiman mewah dan hotel-hotel bintang lima, sejumlah keluarga kerajaan diringkus dalam penangkapan besar-besaran setelah Pangeran Muhammad bin Salman (MBS) diberi kuasa lebih besar sebagai putra mahkota kerajaan pada 2017 lalu.

Dalam satu dan lain hal, lokasi di kawasan Hamra dan Obhur di Jeddah itu adalah cermin dua wajah yang muncul seturut obsesi Kerajaan Saudi mencapai target Visi Saudi 2030 yang belakangan mencapai status “mistik” di kerajaan tersebut.

Di satu sisi, Republika menyaksikan selama hampir tiga bulan tinggal di negara itu, ada keterbukaan yang coba ditunjukkan Kerajaan Saudi dibandingkan kisah-kisah soal ketatnya kondisi terdahulu. Perempuan mulai tampak menyetir kendaraan dan tidak ada lagi polisi moral yang mengawasi lekat perilaku warga tempatan maupun pendatang.

Namun, di lain hal, lain lagi ceritanya. Perubahan yang sedemikian lekas di Saudi, apalagi yang didorong kerajaan, ternyata mahal harganya. “Saya tidak bisa bohong, keadaannya memang menakutkan bagi kami,” kata salah seorang jurnalis media terkemuka yang ditemui Republika di Jeddah, bulan lalu.

Para ulama yang mengkritik langkah-langkah keterbukaan kerajaan ditangkap dan dilabeli ekstremis. Sebaliknya, aktivis dan jurnalis yang mendorong percepatan perubahan yang lebih lekas juga dipenjarakan. Sementara, para ekspatriat dan pekerja serta pengusaha asing menjadi korban Saudisasi, dengan target partisipasi lebih besar warga asli Saudi di masa datang.

Dengan latar belakang tersebut, Jamal Khashoggi naik ke panggung. Lahir pada 1958, wartawan senior itu memulai karier di Saudi Gazette pada 1985, kemudian melanglang buana ke berbagai media. Pada 2003, saat menjadi pemimpin redaksi harian Al Watan, Khashoggi memupuk citra progresifnya dengan menerbitkan kritik terhadap Wahabisme.

Selepas keluar dari Al Watan, ia kemudian menjadi kolumnis di berbagai media asing dan akhirnya dilarang menulis dan tampil di televisi karena mengkritik Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang dekat dengan Kerajaan Saudi pada akhir 2016.

Pada pertengahan 2017, ia pindah ke Amerika Serikat dan kian kencang mengkritik Kerajaan Saudi. Melalui Washington Post, di antara yang ia suarakan adalah kritik soal kebijakan luar negeri Saudi yang kian agresif di regional serta penahanan terhadap sejumlah aktivis di Saudi.

Popularitas Khashoggi menanjak selepas itu. Kerap tampil di berbagai media televisi AS dan Inggris, pengikut Twitter-nya mencapai sedikitnya 2 juta pengguna. Diketahui sebagai seorang anggota Ikhwanul Muslimin sewaktu muda, Khashoggi juga mengkritik tajam aksi Saudi dan sejumlah negara Teluk memblokir Qatar dengan tudingan bahwa negara tersebut melindungi pimpinan Ikhwanul Muslimin.

Terlepas dari kritiknya, Khashoggi tidak pernah secara terbuka mendukung penggulingan rezim di Saudi. Dalam wawancara terakhirnya dengan media AS Newsweek, ia mengatakan hanya ingin mendorong Kerajaan Saudi mereformasi kebijakan mereka dan membuka ruang bagi kebebasan berpendapat.

Bagaimanapun, pada 2 Oktober 2018 lalu, saat berkunjung ke Turki untuk pernikahannya, Khashoggi mengunjungi Konsulat Saudi di Istanbul dan kemudian tak terlihat lagi. Otoritas Turki dengan lekas menunjukkan bukti-bukti kematian Khashoggi di konsulat.

Media-media propemerintahan di Turki dengan detail menunjukkan indikasi bahwa Khashoggi langsung dibunuh di konsulat oleh tim elite suruhan Pangeran Muhammad bin Salman dengan cara yang keji.

Sementara, negara-negara Barat lekas melancarkan kecaman. Presiden Trump yang terkenal akrab dengan Kerajaan Saudi juga mengeluarkan ancaman sanksi atas pembunuhan tersebut bila terbukti.

Mulanya menyangkal, Saudi akhirnya mengakui kematian Khashoggi dan melansir versi mereka soal kematian tersebut pada Jumat (19/10) waktu setempat. Menurut rilis Kerajaan Saudi, Khashoggi tewas di Konsulat Saudi di Istanbul Turki dalam sebuah perkelahian dengan sejumlah orang yang menemuinya di konsulat. Selain itu, Saudi mengatakan, 18 orang asal Saudi telah ditahan sebagai tersangka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement