Sabtu 20 Oct 2018 17:00 WIB

Detik-Detik Likuefaksi dalam Ingatan Seorang Warga Sigi

Sepekan sebelum gempa dan likuefaksi, selalu ada gempa kecil di Desa Jono Oge.

Rep: Lintar Satria Zulfikar/ Red: Endro Yuwanto
Rahmat (27) dan adiknya tengah mencari besi bekas di area yang terdampak likuefaksi Perumnas Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (15/10).
Foto: Republika/Ronggo Astungkoro
Rahmat (27) dan adiknya tengah mencari besi bekas di area yang terdampak likuefaksi Perumnas Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (15/10).

REPUBLIKA.CO.ID, SIGI -- Warga Desa Jono Oge, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, masih ingat detail fenomena alam likuefaksi menyusul gempa berkekuatan 7,4 skala Richter (SR) yang mengguncang dan melenyapkan desa mereka. Suseno, 53 tahun, ia mengingat persis jam dan menit likuefaksi berlangsung.

"Waktu itu pukul 18.10 WIT sampai pukul 18.22 WIT, gempa kira-kira berlangsung selama 12 menit, tapi hancur semuanya," ujar Suseno saat ditemui di pengungsian Sigi, Sabtu (20/10).

Saat gempa berlangsung, Suseno sedang berada di masjid untuk menunaikan Shalat Magrib. Hanya ada empat orang di dalam masjid, Suseno dan seorang penjaga masjid yang sedang adzan serta dua warga lainnya yang sedang mengambil air wudhu.

Tiba-tiba gempa terjadi dan mengguncang seluruh isi masjid. Suseno ingin bertahan di dalam masjid tapi langit-langit masjid rubuh. Akhirnya ia keluar. Tidak mudah bagi Suseno saat itu untuk berlari karena guncangan gempa tidak ke kiri dan kanan, tapi seperti ombak.

Setelah berada di luar masjid gempa berhenti. Tapi hampir setengah desa Jono Oge sudah habis tergulung tanah dari bawah. Suseno pun menoleh ke arah masjid dan terkejut dengan apa yang ia lihat.

"Masjid sudah miring, yang satu naik ke atas yang satunya ke bawah, itu yang bikin runtuh kayaknya," kata Suseno.

Pensiunan PLN itu baru tinggal di Desa Jono Oge selama empat tahun. Suseno mengatakan sepekan sebelum gempa selalu ada gempa kecil yang terjadi. Sebelum gempa dan likuefaksi yang menghancurkan Desa Jono Oge dan Lolu tersebut ada dua gempa kecil. "Tapi tidak ada yang keluar, di sini biasa gempa. Jadi orang-orang di dalam (rumah) saja," kata Suseno.

Kini Suseno dan 230 keluarga dari Desa Jono Oge dan Lulo masih mengungsi. Peristiwa yang terjadi 28 September 2018 sudah lewat 22 hari. Desa Jono sempat terisolasi selama satu pekan. Tapi jalan dari Kota Palu ke Desa Jono Oge, Kabupatan Sigi, baru bisa diakses pada 7 Oktober lalu.

Masih banyak warga yang masih bertahan di pengungsian. Tapi tidak sedikit, menurut Suseno, yang sudah kembali ke rumah mereka. "Ada banyak yang sudah turun, yang asetnya besar-besar, daripada kena jarah," katanya.

Suseno pun korban penjarahan. Ayah tiga anak ini memiliki toko yang ia bangun sejak pindah ke Sigi. Tapi setelah gempa toko kelontongannya habis dijarah. Mimpinya untuk membawa pulang hasil usahanya ke kampung halaman di Banyuwangi, Jawa Timur, pun menguap sia-sia.

Tapi sudah satu pekan Suseno membuka lagi warung di pengungsian. Dengan sisa modal yang ada, ia berusaha mulai bangkit kembali.

Sementara itu, warga yang kini mengungsi pun membutuhkan pasokan berbagai keperluan untuk memenuhi kebutuhan mereka. "Semalam baru habis belanja, ya harus nyari masih banyak toko grosir yang tutup, masih takut untuk buka," jelas Suseno.

Harga barang-barang pun menjadi lebih mahal. Tapi tidak ada yang bisa dilakukan selain tetap membelinya karena Suseno pun harus tetap mendapatkan pemasukan.

Meski sudah 22 hari, tapi akses ke Desa Jono Oge tidak banyak berubah. Jalanan masih sulit untuk dilalui walaupun sudah kering dan dilalui kendaraan. Hanya terlihat beberapa eskavator yang bekerja untuk membersihkan sisa bangunan yang roboh di Sigi Birumoru.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement