REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- KH Ma'ruf Amin sering dikenal sebagai cicit dari Syeikh Nawawi al-Bantani, seorang ulama asal Banten yang pernah mengajar di Masjidil Haram. Namun, tak banyak yang mengetahui Kiai Ma'ruf memiliki darah keturunan Madura, Jawa Timur.
Hal ini terungkap dalam kunjungan Kiai Ma’ruf ke Pendopo Bupati Bangkalan, Madura, dan Pesantren Hidayatulloh Al-Muhajirin, Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Bangkalan, Jumat (10/20). Di mana, dari kunjungan itu diketahui sisi lain jalur leluhur Kiai Ma’ruf. Selain memiliki pertalian nasab dengan para ulama besar, Kiai Ma’ruf juga punya pertalian keturunan dengan para bangsawan (umara’).
"Saya Keturunan Madura,” kata Kiai Ma'ruf di Pesantren Hidayatulloh Al-Muhajirin, Arosbaya, Bangkalan, Jumat (10/20), sebagaimana dikutip Republika.co.id dari keterangan tertulisnya, Sabtu (11/20).
Diketahui, Kiai Ma'ruf memiliki keturunan dari dua wali songo yaitu Sunan Gunung Jati dan Sunan Ampel. Dari jalur umara’, ada sambungan dengan Maulana Hasanuddin, Sultan Banten, Prabu Geusan Ulun, Raja Sumedang Larang, dan Sultan Trenggono, putra Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak.
“Dari Kiai Demong Plakaran Arosbaya, salah satu Raja di Bangkalan. Beliau mempunyai anak bernama Raden Kiai Pragalba. Cucu beliau yang di Pamekasan –sebelah Timur Bangkalan, diperistri Raja Sumedang Larang yang kemudian diberi gelar Nyai Ratu Harisbaya, diambil dari (kata) Arosbaya. Dari sana kemudian lahir mbah-mbah saya," kata Kiai Ma’ruf.
Di Pendopo Bangkalan, pada dinding sisi kiri podium saat Kiai Ma’ruf memberi sambutan di Pendopo itu, terdapat prasasti berjudul “Silsilah Keturunan Cakraningrat dan Bupati Bangkalan”. Tertulis di sana, Kiai Demong Plakaran adalah cucu Prabu Brawijaya V, Raja Majapahit. "Karena saya berdarah Madura, mana mungkin saya lupa Madura," ujar Kiai Ma’ruf.
Putra Kiai Pragalba, bernama Suhra Pradoto, menurut Iim Imaduddin Utsman, menikah dengan Ratu Pambayun, putri Sultan Trenggono, Demak, yang adalah cucu Sultan Ampel. Pasangan Suhra Pradoto dan Ratu Pambayun ini melahirkan Ratu Harisbaya atau Nyai Narantoko.
Ratu Harisbaya menikah dengan Prabu Geusan Ulun, Raja Sumedang Larang, dan salah satu putranya, Pangeran Wiraraja I, memiliki cicit bernama Raden Ayu Fathimah, dinikahi TB Mahmud, cicit Maulana Hasanuddin, Sultan Banten, putra Sunan Gunung Djati, Cirebon, cucu Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran. Nasab Kiai Ma’ruf dengan banyak nama besar ulama dan umara’ itu kerap melalui jalur putri.
Lawatan Kiai Ma’ruf ke Bangkalan, Madura, Jum’at pagi, (19/10) itu, menurut KH Masduki Baidlowi, Wasekjen PBNU, asal Bangkalan, memiliki tiga pesan. “Pertama, Abah (sapaan Kiai Ma’ruf) bersilaturahmi untuk mencari akar dan asal usul nasab. Intinya, beliau ingin menyambung silaturahim. Abah adalah keturunan Nyai Arusbaya, nenek moyang raja-raja Madura,” kata Masduki.
“Kedua, beliau ingin menebar semangat Hari Santri 22 Oktober, agar sebagai generasi milenial, santri punya cita-cita tinggi. Karena sudah zaman digital, maka santri harus melek digital. Mau menjadi ahli agama maupun santripreneur, kita harus melek digital. Karena kalau tidak, kita akan tertinggal,” Masduki, yang juga alumni Pesantren Sidogiri, Pasuruan ini, menjelaskan.
“Pesan ketiga, Abah ingin menyampaikan pemikiran tentang pentingnya ulama ikut mengurus dan menjaga negara. Untuk mengatasi masalah-masalah kenegaraan negara,” kata Masduki.