Rabu 17 Oct 2018 22:23 WIB

KPK Geledah Rumah Bupati Bekasi

Belum diketahui apa yang disita penyidik dari rumah Neneng.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Muhammad Hafil
Penahanan Neneng. Bupati Bekasi, Neneng Hasanah Yasin menggunakan rompi tahanan KPK usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (16/10).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Penahanan Neneng. Bupati Bekasi, Neneng Hasanah Yasin menggunakan rompi tahanan KPK usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (16/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  menggeledah rumah Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dan Kantor Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Bekasi, Rabu (17/10). Penggeledahan ini masih sama seperti penggeledahan Kantor PT Lippo Karawaci Tbk, di Menara Matahari, Tangerang, Banten yakni terkait penyidikan kasus dugaan suap pengurusan izin proyek pembangunan Meikarta, di Cikarang, Kabupaten Bekasi.

"Benar, ada penggeledahan di Dinas PTSP dan rumah Bupati," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi lewat pesan singkat, Rabu (17/10).

Namun, Febri belum bisa merinci apa saja yang dibawa dari dua lokasi yang digeledah tim penyidik KPK. Disinyalir, tim penyidik membawa sejumlah dokumen yang terkait dengan perizinan proyek Meikarta, milik Lippo Group.

Diduga terdapat dokumen proyek yang dicari penyidik KPK di Kantor Lippo Karawaci itu. Proyek Meikarta memiliki hubungan dengan PT Lippo Karawaci Tbk, salah satu jaringan bisnis James Riady. Penggarap proyek Meikarta, PT Mahkota Sentosa Utama merupakan anak usaha dari PT Lippo Cikarang Tbk. Sementara PT Lippo Cikarang Tbk adalah anak usaha PT Lippo Karawaci Tbk.

KPK baru saja menetapkan Bupati Bekasi periode 2017-2022, Neneng Hasanah Yasin (NHY) dan Direktur Operasional (DirOps) Lippo Group, Billy Sindoro (BS) sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta.

Selain Neneng dan Billy, ‎KPK juga menetapkan tujuh orang lainnya yakni, dua konsultan Lippo Group, Taryadi (T) dan Fitra Djaja Purnama (FDP), serta Pegawai Lippo Group, Henry Jasmen (HJ).

Kemudian, Kepala Dinas PUPR Bekasi, Jamaludin (J), Kepala Dinas Damkar Bekasi, Sahat ‎MBJ Nahar (SMN), Kepala Dinas DPMPTSP Bekasi, Dewi Tisnawati (DT) serta Kepala Bidang Tata Ruang Dinas PUPR Bekasi, Neneng Rahmi (NR).

Diduga Neneng Hasanah dan anak buahnya menerima hadiah atau janji dari pengusaha terkait pengurusan perizinan proyek pembangunan Meikarta . Diduga pemberian terkait izin proyek seluas total 774 ha itu dibagi ke dalam 3 tahap, yaitu tahap pertama 84,6 ha, tahap kedua 252,6 ha dan tahap ketiga 101,5 ha.

Pemberian dalam perkara ini, diduga sebagai bagian dari komitmen fee fase proyek pertama dan bukan pemberian yang pertama dari total komitmen Rp 13 miliar, melalui sejumlah Dinas, yaitu: Dinas PUPR, Dinas Lingkungan Hidup, Damkar, dan DPM-PPT.

Diduga realisasi pemberian sampai saat ini adalah sekitar Rp 7 miliar melalui beberapa Kepala Dinas, yaitu pemberian pada bulan April, Mei dan Juni 2018. Keterkaitan sejumlah Dinas dalam proses perizinan karena proyek tersebut cukup kompleks, yakni memlliki rencana pembangunan apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit hingga tempat pendidikan. Sehingga dibutuhkan banyak perizinan, diantaranya rekomendasi penanggulangan kebakaran, amdal, banjir, tempat sampat, hingga Iahan makam.

‎Sebagai pihak yang diduga pemberi suap, Billy, Taryadi, Fitra dan Henry Jasmen disangkakan melanggar Pasal‎ 5 ayat (1) huruf huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sementara yang diduga menerima suap, Neneng, Jamaludin, Sahat, Dewi disangkakan melanggar Pasal‎ 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Neneng mendapat pasal tambahan yakni diduga penerima gratifikasi dan disangkakan melanggar Pasal 12B ‎Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement