Jumat 12 Oct 2018 21:06 WIB

Sulitnya Tim DVI Mengidentifikasi Jenazah Korban Gempa

Tim DVI harus memangkas sejumlah tahap untuk mempercepat identitifikasi.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Teguh Firmansyah
Warga berusaha mengidentifikasi anggota keluarganya di antara jenazah korban gempa dan tsunami di Pantai Talise Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (29/9).
Foto: Antara/Basri Marzuki
Warga berusaha mengidentifikasi anggota keluarganya di antara jenazah korban gempa dan tsunami di Pantai Talise Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (29/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap terjadinya peristiwa yang memakan korban jiwa, Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri selalu turun melakukan identifikasi korban. Namun, upaya tim DVI tidak selalu mudah. Banyaknya jumlah korban jiwa dan sulitnya tempat kejadian perkara (TKP) seperti pada gempa-tsunami Palu kemarin membuat pekerjaan tim DVI semakin rumit.

Kepala Bidang DVI Pusat Kedokteran dan Kesehatan Polri Kombes Pol Lisda Cancer menjelaskan, setidaknya tim DVI harus melakukan empat tahap dalam mengidentifikasi jenazah. Tahapan itu di antaranya adalah olah tempat kejadian perkara (TKP), post mortem, ante mortem, dan rekonsiliasi.

Olah TKP merupakan penyisiran di tempat kejadian. Pada gempa Palu misalnya, maka petugas melakukan penyisiran jenazah di daerah terdampak seperti Palu, Donggala, Sigi dan sekitarnya. Petugas DVI pun melakukan pelabelan jenazah para korbanĀ  bencana.

Sementara pada proses post mortem, kerja forensik bersama tim Inafis untuk mengidentifikasi jenazah dimulai. Identifikasi dilakukan secara medis, misalnya dengan sampel, atau pencocokan DNA.

Namun, di tanah bencana, sampel data sulit ditemukan. Pencocokan DNA pun terlalu mahal, Rp 4-6 juta per jenazah. Hal itu tentu semakin sulit dilakukan di tanah bencana dengan 2.000 lebih korban. Bagaimana pun, tim DVI harus terus melakukan upaya identifikasi.

Hasil post mortem akan dicocokkan dengan hasil ante mortem, yang merupakan pengumpulan identitas dari pihak keluarga. Dalam proses ante mortem ini, Lisda mengaku, tim DVI kerap menemui rintangan. Pihak keluarga yang sedang berkabung, kadangkala kurang kooperatif dengan tim DVI.

"Kami bekerja dengan keluarga yang sedang berkabung, kadang mereka keluarganya diautopsi atau diidentifikasi secara medis, atau tidak mau menyerahkan dokumen identitas keluarga, kadangkala mereka merasa keluarga mereka masih hidup," kata Lisda di Bogor, Jumat (12/10).

Di Palu, tim demikian sulit. Dokumen yang dimiliki keluarga hilang disapu ombak dan digeser likuefaksi. Ante mortem pun tak sempurna. Jumlah korban terus bertambah. Sementara jumlah personel DVI terbatas. Mabes Polri menyatakan, tim DVI yang bekerja kurang lebih 101 personel. Padahal jumlah korban gempa Palu lebih dari dua ribu orang.

Mau tidak mau, kata Lisda, tim DVI harus 'memangkas' sejumlah tahap untuk mempercepat identitifikasi, daripada jenazah menjadi bau dan menimbulkan masalah baru.

Jenazah yang belum teridentifikasi pun terpaksa harus dikuburkan. Paling jenazah diberi label dan diberi pemetaan dengan kode yang tertera dengan label, dilengkapi potret jenazah. "Ini merupakan kebijakan di mana kita tidak bisa melakukan identifikasi dengan maksimal," ujar Lisda.

Padahal, kata Lisda, identifikasi visual gambar potret tidak direkomendasikan atau kurang akurat. "Idealnya jenazah dimasukkan freezer semua, sebelum diidentifikasi satu satu," kata dia. Namun, hal itu tidak mungkin dilakukan di tanah yang tengah porak poranda.

Baca juga, Terungkap Gempa Berturut yang Hancurkan Palu.

Terlepas dari hal itu semua, Lisda mengatakan, tim tetap harus bekerja. Ia mengatakan, Tim DVI selalu merasa puas bila melihat seorang jenazah ditemukan anggota keluarganya. Di Palu, sejauh ini, Tim DVI dengan jumlah terbatas mampu mengungkap 218 jenazah dari ribuan korban. "Bagaimanapun, identifikasi harus dilakukan, tentu itu juga menyangkut hak asasi manusia," ujar Lisda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement