REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Buzzer atau pendengung masih digunakan saat menjelang Pilpres 2019. Bagaimana pengaruh mereka saat ini?
Istilah buzzer dapat mengacu pada konsep buzz marketing, yaitu aktivitas atau kegiatan pemasaran suatu produk pada saluran media komunikasi untuk menciptakan gangguan. Gangguan tersebut ditujukan pada kompetitor untuk menarik target audiens. Buzzer inilah yang akan melempar isu di media sosial, terutama Twitter, sehingga menjadi perbincangan luas khalayak (viral).
Saeful Mujani Research & Counsulting (SMRC) memandang pengaruh buzzer tidak efektif pada Pilpres 2019. Masyarakat dianggap menunjukan tren makin cerdas dalam tiap konteslasi Pemilu dari tahun ke tahun. Kehadiran buzzer diharapkan juga memiliki etika agar ikut mencerdaskan masyarakat.
Peneliti SMRC Saidiman Ahmad menjelaskan pemilih semakin cerdas tiap tahunnya dibuktikan dengan partai politik pemenang pemilu berbeda pada mayoritas Pilpres. PDIP memang pada pemilu 1999 karena dianggap mampu melawan orde baru. Kemudian Partai Demokrat menang pada 2004 lantaran tingkat kepuasan publik pada Megawati rendah. Sekaligus muncul sosok alternatif yaitu Susilo Bambang Yudhoyono. Beruntung tingkat kepuasan publik pada SBY tinggi di tahun 2009 hingga bisa terpilih kembali.
"Kian hari masyarakat makin cerdas dalam tiap pemilu. Misal parpol pemenang pemilu berubah-ubah, bahwa pada publik ada sesuatu yang bekerja yaitu nalar mereka. Ada aspek rasional yang jalan," katanya pada wartawan dalam diskusi di Jakarta pada Jumat (12/10).
Selanjutnya pada 2014, pemilih kesulitan memilih antara Joko Widodo atau Prabowo Subianto karena belum ada hasil kerja konkret dalam level nasional. Sehingga publik dianggap mudah termakan isu hoaks yang muncul di media sosial. Tetapi ketika Pilpres 2019, hasil kerja pejawat sudah terlihat hingga publik ada bahan perbandingan.
"2014 publik meraba-raba belum ada hasil dua-duanya. Hoaks mungkin lahir di mana publik bingung pilih siapa. 2019 mereka bisa bedakan jelas. Pemerintahan bila baik, petahana untung dan begitu sebaliknya. Situasi 2014 karena enggak petahana (pejawat) agak beda," jelasnya.
Ia memandang fungsi media mainstream seperti koran atau televisi masih dipercaya masyarakat. Menurutnya, isu yang digunakan pendengung sejatinya isu di media mainstream dan telah direproduksi. Kehadiran media mainstream juga dianggap bisa meluruskan isu yang dikeluarkan pendengung.
"Soal buzzer politik tentu perdebatan tapi media mainstream dianggap lebih berperan. Di sosmed mereka mereproduksi dari media msinstream. Orang enggak baca kalau enggak ada di mainstream," sebutnya.
Baca juga: Putin dan Khabib: Ketika Mulut Islamofobia McGregor Terkatup
Sementara itu, politikus PDIP Budiman Sudjatmiko mengakui partainya mempunyai buzzer internal. Mulanya, PDIP menggunakan buzzer eksternal dari suatu lembaga. Tetapi, hal itu dianggap kurang efektif hingga lebih memilih mendidik pendengung internal. Menurutnya, pendengung masih punya pengaruh pada pemilih. Khususnya, buzzer yang punya pengikut massif.
"Hanya butuh 2-3 ribu responden pengguna twitter aktif di Manado, Klaten bisa pengaruhi sejuta pemilih disana. Ada hubungannya di sosmed, ada caranya perhitungannya. Misal twitter active user itu unik bisa pengaruhi pengguna lain," ujarnya.
Menurutnya, buzzer yang efektif memiliki kriteria tertentu. Salah satunya, penggunaan data yang tepat hingga pengaruhnya dapat dirasakan. Syarat lainnya ialah pemetaaan target supaya mengetahui titik kelemahannya.
"Buzzer yang cerdas itu pakai data, ke orang targetnya harus tahu kata apa yang digunakan, tahu galaunya soal apa, marahnya soal apa, sering pamer saat apa. Buzzer yang cerdas gerak kesitu," terangnya.
Baca juga: Saat Grup Komunitas Gay Resahkan Sebagian Warga Jawa Barat
Baca juga: Kandidat KSAD, Tatang Dikepung Akmil 1987